JAKARTA - Semua produk bioteknologi wajib memiliki sertifikasi halal. Termasuk yang melalui rekayasa genetik dengan menghasilkan varietas tanaman atau ternak unggul dan memiliki produktivitas tinggi.
Hal itu ditegaskan Koordinator Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Sukandar dalam kegiatan di fasilitas pengembangan produk bioteknologi di Malang, Jawa Timur, Selasa 23 Mei.
"Semua produk yang melakukan rekayasa genetik, maka wajib masuk mandatori halal," ujarnya, disitat Antara, Selasa 23 Mei.
Dia menekankan, aturannya terdapat pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi, dan Alat Kesehatan.
Sukandar menjelaskan tujuan sertifikasi halal untuk produk rekayasa genetik tersebut adalah agar masyarakat yang mengonsumsi produk itu merasa aman, nyaman, dan selamat.
Hal ini, kata dia, mengingat 86,7 persen penduduk Indonesia adalah Muslim.
"Pelaku usaha harus memahami apa yang menjadi kebijakan pemerintah," kata Sukandar.
Dia menuturkan prosedur pendaftaran sertifikasi halal untuk produk rekayasa genetik sama dengan tahapan produk lainnya. Mekanismenya sertifikasi halalnya masuk ke jalur reguler.
Perbedaannya, kata dia, terletak pada proses audit di lapangan. Para auditor yang melakukan audit terhadap produk rekayasa genetik adalah orang-orang khusus yang memiliki kapasitas untuk menguji dan memeriksa sebatas langsung.
"Mereka melakukan uji tentang kesesuaian produk itu dengan standar halal, termasuk melihat juga faktor lain seperti komponen impor," kata Sukandar.
BACA JUGA:
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, produk yang telah diaudit oleh Lembaga Pemeriksa Halal akan dilakukan sidang fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bila Komisi Fatwa MUI itu tidak segera melaksanakan sidang fatwa dalam tempo tiga hari, maka akan diserahkan kepada Komite Fatwa Kementerian Agama (Kemenag).
"Komite Fatwa ini adalah semua organisasi yang dibentuk oleh Menteri Agama, namun melibatkan unsur dari para ulama dan akademisi," ujar Sukandar.