Bagikan:

JAKARTA - Presiden Tunisia Kais Saied pada hari Rabu menyalahkan "para penjahat" yang ingin merusak sektor pariwisata, terkait penembakan sinagoge di Pulau Djerba yang menewaskan enam orang dalam serangan paling mematikan di negara itu dalam beberapa tahun terakhir.

Pelaku penyerangan, seorang anggota Garda Nasional, membunuh seorang rekannya di instalasi angkatan laut pada Hari Selasa, kemudian pergi ke sinagoge di mana sebuah festival Yahudi tahunan sedang berlangsung, menembaki polisi dan pengunjung, sebelum dia ditembak mati.

Dua sepupu Yahudi, satu orang Prancis-Tunisia dan satu lagi Israel-Tunisia, tewas, bersama dengan seorang polisi meninggal di tempat kejadian. Satu lagi di rumah sakit pada Hari Rabu.

Empat polisi lainnya terluka, satu kritis, kata sumber-sumber rumah sakit, bersama dengan empat pengunjung lainnya.

"Tujuannya (penembakan) adalah untuk menabur benih perselisihan dan untuk menghantam musim turis dan negara," kata Presiden Saied, menyampaikan belasungkawa kepada keluarga mereka yang terbunuh dan harapan kesembuhan bagi mereka yang terluka, melansir Reuters 11 Mei.

Dia tidak merujuk pada penargetan penembak terhadap komunitas Yahudi atau antisemitisme dan tidak menyebut penembakan itu sebagai terorisme, istilah yang kadang-kadang digunakannya untuk menggambarkan pekerjaan lawan-lawan politiknya, sejak dia merebut sebagian besar kekuasaan pada tahun 2021.

Presiden Saied mengatakan, Tunisia adalah "negeri yang penuh toleransi dan hidup berdampingan secara damai".

Sementara itu, para jemaah yang menghadiri ziarah menggambarkan adegan kepanikan setelah suara tembakan terdengar, ketika orang-orang mencoba bersembunyi di berbagai ruangan di sinagoge.

"Orang-orang sedang bergembira dan menari-nari sampai kami mendengar banyak suara tembakan. Semua orang melarikan diri... beberapa bersembunyi di kantor saya dan yang lainnya di ruangan lain. Ada banyak ketakutan," tutur Peres Trabelsi, kepala komunitas Yahudi Djerba.

Penyerang tiba dengan sepeda motor quad dan mengenakan pelindung tubuh, kata Rene Trabelsi, mantan menteri pariwisata Tunisia yang mengorganisir ziarah, menambahkan bahwa kedua sepupu yang tewas itu mencoba bersembunyi di balik bus di luar sinagoge.

"Kami mendengar suara tembakan dan tahu bahwa itu terkait dengan serangan," tuturnya, seraya menambahkan ia berada di dalam sinagoge bersama keluarganya ketika penembakan dimulai.

Diketahui, ziarah ke sinagoge tertua di Afrika ini secara teratur menarik ratusan orang Yahudi dari Eropa dan Israel ke Djerba, yang terletak di lepas pantai sekitar 500 km (300 mil) dari ibukota Tunis.

Ziarah ini memiliki pengamanan yang ketat sejak militan Al Qaeda menyerang sinagoge tersebut pada tahun 2002 dengan sebuah bom truk, menewaskan 21 turis Barat.

Tunisia sendiri yang mayoritas penduduknya Muslim merupakan rumah bagi salah satu komunitas Yahudi terbesar di Afrika Utara, dengan terdapat sekitar 1.800 warga Yahudi.

Sementara itu, setiap dampak pada sektor pariwisata Tunisia, sumber utama mata uang asing, akan diawasi dengan ketat di tahun ketika pemerintah sedang mencari bantuan keuangan untuk mencegah krisis keuangan publik.

Bisnis pariwisata sangat terpukul oleh serangan besar pada tahun 2015 yang menewaskan sejumlah turis Barat, hampir tidak pulih sebelum pandemi COVID pada tahun 2019 dan 2020. Kesengsaraan ekonomi telah mendorong eksodus besar-besaran warga Tunisia ke Eropa.