BKSDA Kalteng Terus Pantau Keberadaan Orangutan di Pulang Pisau
Ilustrasi. Orangutan (Pongo pygmaeus) di lokasi pra-pelepasliaran di Pulau Kaja, Palangka Raya, Kalteng. (Antara-Bayu P S)

Bagikan:

KALTENG - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah masih terus memantau perkembangan orangutan yang dilaporkan terlihat warga di Desa Kanamit, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.

"Kami sudah turun ke lapangan bersama BPBD setempat, tetapi keberadaan orangutan sudah bergeser dari posisi sebelumnya di lokasi yang dilihat warga sehingga keberadaannya belum diketahui lagi," kata Pejabat Fungsional Pengendali Hutan BKSDA Kalteng Nandang Hermawan di Pulang Pisau, dikutip dari Antara, Selasa, 9 Mei. 

Dia menjelaskan dengan tidak diketahui keberadaan orang utan tersebut maka proses evakuasi juga tidak bisa dilakukan. Namun, BKSDA meminta masyarakat memberikan informasi apabila orang utan itu muncul kembali.

Sifat orang utan, kata dia, selalu aktif berpindah-pindah. Dalam satu hari, untuk orang utan jantan memiliki daerah teritorial dan berpindah tempat hingga jarak tempuh sejauh lima kilometer persegi, sedangkan orang utan betina radius satu kilometer persegi.

"Orang utan senang menjelajah setiap hari dan karakternya tidak bisa tinggal hanya di satu tempat saja. Bisa saja hari orang utan yang ditemukan masyarakat di tepi sungai seperti yang dilaporkan, esok harinya belum tentu bisa ditemukan kembali di lokasi yang sama," kata Nandang.

Terkait dengan jumlah orang utan yang dilaporkan dengan kelompok besar lebih dari enam orang utan, ia tidak bisa memastikan karena bisa saja satu orang utan dilihat oleh warga dari tempat berbeda karena sifatnya yang berpindah-pindah.

Namun, dirinya telah meminta masyarakat di desa setempat untuk terus saling berkomunikasi dan berkoordinasi jika keberadaan orang utan kembali ditemukan.

“Pada prinsipnya kita siap membantu proses evakuasi apabila memang diperlukan dan terus koordinasi bersama yayasan yang melindungi satwa seperti BOS, WWF dan lainnya,” katanya.

Ia mengakui masuknya orang utan hingga perkebunan milik warga di desa setempat tidak terlepas dari persoalan semakin sempit habitat orang utan.

“Bahkan untuk dievakuasi saja kita kesulitan mau menempatkan orang utan ke mana, karena memang habitat atau tempat tinggal orang yang semakin menyempit,” ucapnya.

Penyempitan habitat orang utan, katanya, tentunya menimbulkan konflik dengan masyarakat. Pertemuan dengan orang utan pasti tidak bisa dihindari dan mau tidak mau manusia harus bisa menerima keberadaan orang utan serta satwa lain untuk bisa tinggal berdampingan, tanpa harus menyakiti.

Pada dasarnya, papar Nandang, orang utan juga menghindari pertemuan dengan manusia. Orang utan tidak mau menyerang manusia bahkan cenderung menghindar karena sifatnya bukan predator, apabila menyerang hanya untuk menjaga dan melindungi dirinya karena merasa terancam.

Dirinya mengungkapkan manusia yang mempunyai akal dan pikiran. Masyarakat bisa belajar untuk menghindari konflik. Pertemuan dengan orang utan seharusnya bisa menjadi inspirasi yang menguntungkan semua pihak.

Masyarakat desa setempat, kata dia, juga bisa menjadikan habitat orang utan sebagai kawasan promosi wisata edukasi sehingga tidak perlu pergi jauh jika ingin melihat aktivitas orang utan secara langsung.

Dia mewanti-wanti jangan sampai orang utan yang pada aslinya tinggal alamiah di daerah tersebut terusik dan tersingkir karena ulah manusia yang merusak dan mempersempit habitat orang utan itu.

Ia juga mengemukakan pentingnya cara alternatif menjaga orang utan dari kepunahan.