<i>Merger</i> 3 Bank Pemerintah: Berharap Meriah Pasar Syariah
Logo tiga bank syariah milik pemerintah (Foto: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 1 Februari 2021 mendatang akan menjadi tonggak baru sejarah industri keuangan syariah di Indonesia. Pasalnya, pemerintah berencana memperkenalkan secara resmi Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai identitas baru hasil penggabungan dari PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Tbk. (BRIS) dan PT Bank Negara Indonesia (BNI Syariah).

BSI sendiri disebut-sebut akan menjadi lembaga perbankan syariah terbesar di Indonesia dan diproyeksi masuk dalam 10 besar dunia. Adapun, total aset dari penggabungan ketiga bank plat merah tersebut diproyeksi mencapai Rp240 triliun dengan modal inti yang disetorkan sebesar Rp20 triliun.

Dengan kapabilitas aset tersebut, BSI masuk dalam kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) III. Pemerintah melalui Ketua Project Management Office (PMO) Merger Bank Syariah BUMN Himbara Hery Gunardi memberikan sinyal bahwa upaya meng-upgrade bisnis Bank Syariah Indonesia akan dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Kami berharap bisa naik kelas BUKU IV pada 2022,” katanya.

Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, pemerintah membagi empat kategori bank berdasarkan struktur permodalan inti yang dimiliki.

Pertama bank BUKU I dengan modal ini kurang dari Rp1 triliun. Kedua BUKU II adalah bank dengan modal Inti paling sedikit sebesar Rp1 triliun-Rp5 triliun.

Ketiga merupakan BUKU III dengan modal Inti paling sedikit sebesar Rp5 triliun dan kurang dari Rp30 triliun. Serta yang terakhir adalah BUKU IV yang memiliki modal inti lebih dari Rp30 triliun.

Lebih lanjut, Hery yang juga ditunjuk pemerintah sebagai Direktur Utama Bank Syariah Indonesia mengaku perseroan akan lebih leluasa untuk melakukan penetrasi pasar jika memiliki hak pengembangan layanan secara penuh.

“Kami akan mendorong penggunaan digital secara masif agar dapat melayani setiap kebutuhan nasabah,” sebut dia.

Seberapa besar BSI dibandingkan dengan bank syariah lain di Indonesia?

Merujuk pada laporan Statistik Perbankan Syariah (SPS) terakhir yang dirilis oleh OJK, hingga Oktober 2020 disebutkan bahwa seluruh aset bank syariah di Indonesia (tidak termasuk BPR Syariah) adalah sebesar Rp571,1 triliun.

Adapun, aset BSI disebutkan sebesar Rp240 triliun. Ini berarti Bank Syariah Indonesia memiliki aset yang hampir setara dengan seluruh kekayaan bank syariah nasional apabila digabungkan.

Kemudian, jumlah nasabah BSI sebanyak 14,9 juta orang dengan total nasabah bank syariah nasional yang sebanyak 29,9 juta orang. Dari sisi fasilitas anjungan tunai mandiri (ATM), BSI diketahui memiliki 1.785 unit dari 2.943 ATM seluruh bank syariah.

Lalu, BSI mempunyai 1.200 kantor cabang dan outlet, serta total 20 ribu tenaga kerja. Sementara data OJK menyebut seluruh lembaga perbankan berlabel syariah di Indonesia diketahui memiliki 2.349 kantor cabang dengan 55 ribu karyawan.

Dari sisi kinerja, lembaga perbankan syariah juga bisa dibilang mampu bertahan dalam situasi pandemi seperti saat ini.

Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan kredit perbankan diketahui terkontraksi menjadi minus 2,41 persen. Angka tersebut berbeda jauh dibandingkan dengan performa pembiayaan perbankan syariah yang masih tumbuh 9,5 persen.

Adapun, empat bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara), yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN hanya mampu naik tipis sebesar 0,6 persen.

5 tantangan pengembangan ekonomi syariah

Otoritas Jasa Keuangan menyebut industri syariah berpotensi tumbuh dengan skala yang besar. Meski demikian, otoritas mendapati lima tantangan utama yang harus segera diselesaikan untuk bisa mendorong industri yang sesuai dengan prinsip islami ini dapat segera meningkat.

“Yang pertama adalah bagaimana kita bisa memperbesar market share,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam webinar pada Selasa, 19 Januari.

Dalam catatannya, proporsi total aset keuangan syariah hanya sekitar 9,9 persen. Sementara 90,1 persen lainnya dikuasai oleh lembaga keuangan konvensional.

Kedua adalah terkait dengan literasi keuangan yang masih rendah. Wimboh menyebut indeks literasi dan inklusi syariah hanya sekitar 8,9 persen dan 9,1 persen. Adapun, literasi dan inklusi keuangan secara nasional adalah sebesar 28 persen dan 76 persen.

“Hambatan ketiga adalah diferensiasi bisnis atau produk syariah yang masih terbatas,” tuturnya.

Lalu, tantangan ekonomi syariah lainnya adalah adopsi teknologi yang belum memadai, serta pemenuhan sumber daya manusia (SDM) yang belum optimal.

Dalam kesempatan tersebut, Wimboh juga menjelaskan bahwa industri keuangan syariah terus mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, baik di sektor perbankan syariah, Industri keuangan non-bank (IKNB) syariah, maupun pasar modal syariah meski situasi sedang pandemi.

“Industri keuangan syariah diharapkan dapat berperan optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini akan kami wujudkan dengan melakukan integrasi sektor jasa keuangan dalam pengembangan industri halal dan ekosistem ekonomi syariah,” tutup Wimboh Santoso.

Sinyal positif dari Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) menyebut penyaluran kredit/pembiayaan baru akan meningkat pada triwulan I 2021. Proyeksi tersebut diungkap setelah otoritas moneter mendapati hasil survei perbankan yang menyebutkan bahwa saldo bersih tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru triwulan I 2021 sebesar 49,4 persen atau meningkat dari triwulan IV 2020 yang sebesar 25,4 persen.

“Penyaluran kredit baru triwulan I 2021 diperkirakan didorong oleh kredit modal kerja, diikuti oleh kredit investasi, dan kredit konsumsi,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam siaran pers, Selasa, 19 Januari.

Sementara itu, pertumbuhan kredit pada triwulan IV 2020 diperkirakan masih terbatas, dipengaruhi oleh pertumbuhan kredit investasi. Adapn, standar penyaluran kredit pada triwulan I 2021 diperkirakan tidak seketat periode sebelumnya.

Hal itu terindikasi dari Indeks Lending Standard (ILS) sebesar 0,4 persen, lebih rendah dibandingkan dengan 3,2 persen pada triwulan sebelumnya.

“Aspek kebijakan penyaluran yang diperkirakan tidak seketat triwulan sebelumnya antara lain plafon kredit dan jangka waktu kredit,” tuturnya.

Lebih lanjut, hasil survei mengindikasikan responden tetap optimis terhadap pertumbuhan kredit untuk keseluruhan periode 2021.

“Responden memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2021 sebesar 7,3 persen secara tahunan. Optimisme tersebut antara lain didorong oleh kondisi moneter dan ekonomi, serta relatif terjaganya risiko penyaluran kredit,” tutup Erwin.