Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara diyakini menembakkan rudal balistik jenis baru pada Hari Kamis, sebelum mendarat di antara Semenanjung Korea dan Jepang, meningkatkan kekhawatiran akan kemungkinan kemajuan teknis dalam program senjatanya.

Berbicara kepada wartawan, seorang pejabat Kepala Staf Gabungan (JCS) mengatakan, rudal jenis baru yang dimaksud yakni diyakini menggunakan bahan bakar padat.

Bahan bakar padat menawarkan mobilitas yang lebih besar untuk rudal dan mengurangi waktu persiapan sebelum peluncuran, dibandingkan dengan bahan bakar cair yang membutuhkan lebih banyak waktu persiapan yang membutuhkan aktivitas yang dapat dideteksi, oleh karena itu, memberikan waktu bagi Korea Selatan dan Amerika Serikat untuk mempersiapkan diri sebelum peluncuran.

"Mengingat pentingnya hari ulang tahun pendiri Korea Utara Kim Il-sung pada tanggal 15 April, Korea Utara sangat mungkin menguji coba rudal balistik berbahan bakar padat," kata Cheong Seong-chang, analis senior di wadah pemikir Sejong Institute, kepada The Korea Times, seperti dilansir 13 April.

"Uji coba ini akan memberikan rezim itu kesempatan untuk mengirim pesan menantang kepada Seoul dan sekutunya, serta untuk mempromosikannya sebagai sebuah pencapaian menjelang peringatan politik yang penting," sambungnya.

Rudal balistik antarbenua berpropelan padat (ICBM) adalah salah satu senjata utama dalam daftar keinginan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, yang telah memperluas dan mengekspresikan ambisi nuklirnya setelah KTT tanpa hasil dengan Presiden AS Donald Trump pada tahun 2019.

JCS mengatakan, rudal tersebut ditembakkan pada sudut yang tinggi dari wilayah ibu kota Pyongyang dan jatuh ke Laut Timur setelah menempuh jarak 1.000 kilometer.

Peluncuran terbaru sempat membuat Pemerintah Jepang mengeluarkan perintah evakuasi di Hokkaido. Belakangan, perintah itu dicabut, setelah dipastikan rudal tersebut tidak akan jatuh di dekat pulau di timur laut Jepang tersebut.

Sementara itu, Dewan Keamanan Nasional (NSC) Korea Selatan "dengan tegas" mengecam uji coba tersebut, yang disebutnya sebagai "pelanggaran berat" terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB.

"Anggota NSC menekankan bahwa provokasi dan pernyataan ancaman Korea Utara yang berulang-ulang menunjukkan pentingnya aliansi dan kepercayaan yang kuat antara Korea Selatan dan AS. Kami akan terus melakukan latihan militer bersama untuk menjaga kesiapan," kata NSC dalam sebuah pernyataan.

"Kami juga akan memperkuat kerja sama keamanan dengan Amerika Serikat dan Jepang di bidang pembagian informasi, setelah menormalisasi Perjanjian Keamanan Umum Informasi Militer," lanjut pernyataan itu.

Terpisah, para analis khawatir tidak akan ada bahwa perubahan sikap seperti itu tidak realistis, mengingat situasi geopolitik yang "menguntungkan" bagi pengembangan senjata Korea Utara.

"Korea Utara akan terus berusaha keras untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya selama masih memungkinkan. Perang di Ukraina dan iklim perang dingin yang baru telah menciptakan lingkungan yang ideal bagi Korea Utara untuk mengembangkan program senjatanya," kata Cheong.

"Begitu AS dan Rusia mulai memperbaiki hubungan setelah perang, situasi yang menguntungkan bagi Korea Utara dapat berubah. Sementara itu, Korut akan terus memanfaatkannya," tandasnya.

Adapun Jeong Han-beom, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Pertahanan Nasional Korea percaya, hampir tidak ada pilihan yang tersedia bagi Korea Selatan atau AS untuk mengambil tindakan untuk menjinakkan agresi Korea Utara, yang menggambarkan prospek suram bagi upaya diplomatik Seoul untuk KTT dengan Washington pada tanggal 26 April dan KTT G7 bulan depan.

"Dengan Korea Utara yang sudah berada di bawah hampir semua sanksi yang tersedia, hanya ada beberapa langkah tambahan yang berarti yang dapat diambil oleh Korea Selatan atau AS," kata Jeong.

"Akan ada beberapa pengumuman bersama, tetapi saya pikir itu akan lebih bersifat simbolis dan tidak membawa efek praktis," pungkasnya.