JAKARTA - Kementerian Pertanian mengaku sudah menerbitkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk komoditas bawang putih dengan total volume 103 ribu ton. Ketidakterbukaan proses RIPH ini menuai kritik.
Kementan dinilai tak terbuka dalam pemberian RIPH tersebut dan seharusnya tidak melakukan impor yang tergesa-gesa ini untuk mengesampingkan dugaan-dugaan adanya kepentingan tertentu, termasuk politik di dalamnya.
Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menyoal ketidaktransparanan Kementan dalam pemberian RIPH. Padahal, menurutnya persoalan ketidaktransparanan itu juga menjadi pemicu kegaduhan saat DPR mengundang berbagai pihak, termasuk asosiasi terkait bawang putih.
"Itu kan diributin waktu kami mengundang asosiasi. Jadi RIPH-nya pilih-pilih tidak transparan. Banyak yang tidak dapat. Harusnya transparan terbuka saja. Waktu RDP asosiasi pada protes. Perusahaan yang bagus dikasih, yang tidak bagus, jangan," kata Darori dalam keterangan yang diterima, Rabu 12 Februari.
Menurutnya, Kementan seharusnya juga berbincang bersama dengan asosiasi untuk menelisik perusahaan yang mengajukan RIPH. Kementerian dinilainya kurang tegas dalam pengawasan.
Selain itu, Dewan juga menilai ada peraturan menteri yang aneh. Perubahan peraturan menjelang pergantian menteri harusnya diselisik dan diklarifikasi penerapannya terhadap importir.
BACA JUGA:
"Harusnya kan importir wajib menanam lima persen dari rencana. Nah, sekarang terbalik. Nanamnya nanti. Kalau saya usulkan, ada jaminan dalam tanaman bawang. Jadi importir deposit uang seluas rencana tanamannya." katanya.
Kepentingan Politik
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mendesak Kementan untuk transparan menerangkan, bukan saja soal urgensi impor, tapi juga perusahaan pengimpor. Ia mengatakan, transparansi sangat perlu untuk menegaskan ada tidaknya kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik.
Untuk itu, Uchok minta pemerintah terbuka kepada publik. Ia juga mendesak KPK menyelidiki impor ini. "Harus ada pengawasan dari KPK atas pemberian RIPH agar pengambilan keputusan ini bukan untuk mengakomodir kepentingan, misalnya partai politik," ujarnya.
Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, proses RIPH bawang putih sudah diajukan para importir sejak pertengahan November 2019 lalu. Menurut Liliek, keluarnya RIPH 103 ribu ton bawang itu juga bukan keputusan dadakan.
Ia mengaku, penerbitan RIPH bukan tiba-tiba karena ada rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan dan Kantor Staf Presiden pada Kamis 6 Februari 2020.
"Kami memproses (RIPH) sejak 15 November 2019, jadi tidak serta merta dikeluarkan," ujarnya. Sedangkan untuk daftar importir yang memiliki kuota, serta besarannya, ia mengaku tidak memegang datanya secara detail.
Pengamat Ekonomi Muliadi Widjaja menilai ada yang kurang pas dengan impor ini. Kementan bisa dianggap lebih membela importir daripada petani. Harusnya, kata dia, kalau pro petani tidak perlu impor di kala stok masih dinyatakan cukup.
Dia pun menduga ada kepentingan politik dari parpol turut serta dalam penunjukan importir. Dugaan itu menurutnya wajar mengemuka lantaran petani selalu 'kalah' dengan importir.
"Importir selalu dimenangkan pemerintah daripada petani, karena ada dugaan setoran importir kepada partai," katanya.