JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan nama baru bagi virus corona yang ditemukan pertama kali di Wuhan, China. Virus yang sebelumnya disebut 'penyakit pernafasan akut 2019-nCoV' itu, kini memiliki nama resmi COVID-19.
Dikutip dari New York Times, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan bahwa nama baru itu tidak merujuk pada apa pun, baik tempat atau hewan yang terkait dengan virus corona. Tujuannya agar menghindari stigma.
"Memiliki nama penting untuk mencegah penggunaan nama lain yang bisa tidak akurat atau stigmatisasi. Itu juga memberi kita format standar digunakan untuk wabah virus corona di masa depan," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari Twitter, Rabu, 12 Februari.
🚨 BREAKING 🚨
"We now have a name for the #2019nCoV disease:
COVID-19.
I’ll spell it: C-O-V-I-D hyphen one nine – COVID-19"
-@DrTedros #COVID19 pic.twitter.com/Kh0wx2qfzk
— World Health Organization (WHO) (@WHO) February 11, 2020
Tedros mengatakan bahwa pemilihan COVID-19 merupakan singkatan dari Corona virus disease, sementara "19" adalah untuk tahun penemuannya. Sebagaimana diketahui, wabah ini pertama kali diidentifikasi pada tanggal 31 Desember 2019 di kota Wuhan, China.
Selain itu WHO juga menghindari menghubungkan wabah dengan menyebut nama 'China' atau 'Wuhan', di mana penyakit tersebut pertama kali diidentifikasi. Pemberian nama suatu kota atau daerah untuk nama penyakit dipandang sebagai penghinaan.
Beberapa ahli mengatakan bahwa mereka menyesal menyebutkan sebuah infeksi yang juga disebabkan coronavirus berbeda yaitu sindrom pernapasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome/MERS).
Nama yang baru ini juga diharapkan agar nama-nama yang bermunculan di media massa dan media sosial, di antaranya virus Wuhan, Wu Flu, tidak lagi digunakan. Ghebreyesus juga menambahkan bawah masih ada peluang yang realistis untuk menangani penyakit ini jika sumber daya yang cukup dicurahkan dengan baik.
Dipantau dari situs gisanddata.maps.arcgis.com, total kasus wabah COVID-19 mencapai 45.183 kasus. Sebanyak 1.115 dilaporkan meninggal dan 4.846 orang berhasil sembuh dari virus tersebut.
Dalam beberapa hari terakhir, pihak berwenang China semakin dikritik karena penanganan krisis mereka ketika kasus pertama kali muncul. Kematian seorang dokter yang memperingatkan adanya COVID-19 memicu kemarahan publik.
Selain itu, publik juga tengah mencurigai otoritas China sangat berusaha membungkam beberapa orang dan pejabat senior atas tindakan mereka untuk mengendalikan penyakit ini.
Lembaga anti-korupsi tertinggi di China disebut-sebut diutus pergi ke Hubei untuk menyelidiki perawatan apakah yang didapat oleh dokter Li Wenliang yang tidak berhasil menyelawatkan nyawanya.