JAKARTA - Pemerintah berencana membentuk holding urusan UMKM. Tujuannya untuk membantu dalam meningkatkan kapasitas UMKM secara umum. Namun, langkah ini dinilai tak cukup untuk mengatasi masalah di sektor usaha tersebut, baik saat pandemi maupun pascapandemi COVID-19.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan, Faisal Basri ada tujuh jenis kesulitan usaha yang dialami UMKM saat ini. Masalah utama yang dihadapi adalah permodalan. Baik usaha kecil maupun besar pasti mengalami kesulitan ini.
Berdasarkan data BPS, kata Faisal, 29,3 persen pelaku UMKM memandang bahwa masalah yang dihadapi masalah utamanya adalah permodalan. Namun, permodalan bukan lah satu-satunya masalah. UMKM juga mengalami masalah dalam hal pemasaran yaitu 21,1 persen.
Kemudian, masalah lainnya yaitu bahan baku 20,7 persen. Tak hanya itu, ada masalah juga yang mengalami masalah yang terkait energi sebanyak 9,1 persen. Sebanyak 5,4 persen pelaku UMKM juga mengaku mengalami masalah terkait dengan keterampilan. Lalu, terkait upah sebesar 3,8 persen dan transportasi 2,3 persen.
"Ini gambaran umum yang dialami oleh UMKM. Nampaknya UMKM ini dijadikan semacam alasan utama dalam proses holdingisasi ini," kata Faisal, dalam diskusi virtual, Rabu, 13 Januari.
Menurut Faisal, jika melihat skema holdingisasi, masalah UMKM yang disasar satu-satunya adalah permodalan. Padahal, UMKM tidak hanya butuh bantuan finansial dari gambaran jenis masalah yang dihadapi. Namun, dia mengakui, permodalan pasti menjadi masalah yang umum dialami pengusaha kecil maupun besar.
"Kalau ditanya pertama kali masalahnya modal memang dalam banyak survei. Memang membutuhkan pembiayaan untuk berinvestasi, tumbuh dan menciptakan lapangan kerja baru, untuk berkembang. Tapi kita juga menyadari bahwa UMKM membutuhkan lebih dari sekadar pembiayaan untuk berkembang. Mereka juga butuh akses informasi, pasar, teknologi untuk menjadi lebih produktif, efisien dan lebih tangguh," tuturnya.
Selain itu, kata Faisal, UMKM juga membutuhkan akses ke sumber daya yang dapat membantu memperkuat kesejahteraan mereka dan akses untuk memperoleh pelatihan. Serta, kata dia, dukungan pemerintah untuk melakukan inovasi-inovasi.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Faisal menjelaskan, inovasi merupakan kata kunci untuk dapat bertahan pancapandemi COVID-19. Karena di masa pandemi ini, ketahanan jutaan UMKM diuji, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Sehingga, dukungan non-finansial dapat membantu mereka memastikan pemulihan yang kuat.
"Ini pascacovid lagi-lagi isunya bukan keuangan semata. Nah kemudian kita bagaimana mau tidak mau memulai transformasi digital UMKM, ini yang dibutuhkan. Jadi terlalu sederhana membantu UMKM itu dengan membentuk holdingisasi ini," tuturnya.
Tingkatkan Kapasitas UMKM
Sebelumnya, ekonom sekaligus peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, Pemerintah meyakini pembentukan holding urusan UMKM dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kapasitas UMKM secara umum.
Namun langkah pembentukan holding tersebut bisa dibilang terlalu jauh dari kata ideal. Sebab, pembentukan holding yang terdiri atas tiga BUMN yang mempunyai jenis kegiatan dapat menimbulkan ketidakcocokan dalam proses holding.
Adapun BUMN yang akan tergabung dalam Holding UMKM BUMN yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero), dengan perusahaan induk yaitu BRI.
Selama ini, kata Huda, holding yang dilakukan pemerintah selalu berpijak pada sektor kegiatan yang sama. Holding pertambangan, holding migas, holding perkebunan, dan rencana holding bank syariah mempunyai bisnis yang relatif sama. Maka, holding urusan UMKM dan UMi dinilai akan tidak cocok mengingat ada gap skema bisnis di antara ketiganya.
Lebih lanjut, Huda berujar, jika pun dipaksakan, yang tercipta adalah holding konglomerasi, di mana perusahaan induk akan lebih menikmati manfaat dibandingkan anak perusahaannya.