JAKARTA - Majelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi yang menuntut Rusia segera menarik seluruh pasukannya dari Ukraina, menyerukan penghentian permusuhan, satu tahun setelah invasi Moskow.
Negara-negara anggota bertemu pada sesi khusus Majelis Umum PBB pada Hari Kamis untuk mengutuk invasi 24 Februari 2022, yang sebelumnya disebut Sekretaris Jenderal Antonio Guterres sebagai "penghinaan terhadap hati nurani kita bersama", melansir Reuters 24 Februari.
Dia menggambarkan peringatan tersebut sebagai "tonggak sejarah yang suram bagi rakyat Ukraina dan masyarakat internasional".
Resolusi yang tidak mengikat ini disetujui oleh 141 negara, salah satunya Indonesia. Sementara, 32 negara abstain, termasuk China. Sedangkan tujuh negara memberikan suara menolak, di antaranya Rusia, Suriah dan Korea Utara.
Pemungutan suara dilakukan satu hari setelah Sekretaris Jenderal Nato Jens Stoltenberg, memperingatkan bahwa China mungkin sedang membuat rencana untuk menyediakan senjata kepada Rusia.
Dai Bing, wakil duta besar China untuk PBB mengatakan kepada Majelis Umum, "mengirim senjata tidak akan membawa perdamaian" dan menyerukan perundingan.
Dia memperingatkan terhadap "kecelakaan nuklir buatan manusia", dan menambahkan bahwa "senjata nuklir tidak dapat digunakan - perang nuklir tidak dapat dilawan".
Sementara itu, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, yang menggambarkan pemungutan suara tersebut sebagai "bersejarah", menuntut Rusia untuk "menarik diri dengan segera, sepenuhnya, dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina yang diakui secara internasional".
"Pulangkan pasukan Anda," katanya.
The UN General Assembly adopted a resolution that demands #Russia leave #Ukraine.
In favour: 141
Against: 7
Abstentions: 32 pic.twitter.com/WnEoRp94kx
— UN News (@UN_News_Centre) February 23, 2023
Meskipun tidak mengikat, pemungutan suara tersebut menunjukkan tingkat dukungan untuk Kyiv di seluruh dunia saat perang terus berlanjut, dengan Rusia menduduki wilayah yang luas di Ukraina dan kedua belah pihak bersiap-siap untuk pertempuran yang lebih intensif di musim semi.
Para diplomat PBB telah mengharapkan sebanyak 150 suara untuk mendukung resolusi tersebut. Namun, hasil akhir penghitungan suara sama persis dengan resolusi serupa pada tanggal 2 Maret tahun lalu yang mengutuk invasi Rusia dan menuntut Rusia untuk menarik mundur pasukannya.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan kepada para wartawan, Rusia telah "mencoba selama seminggu penuh untuk mengalihkan perhatian dan mengganggu pekerjaan PBB dengan berbagai manuver".
"Sekali lagi, hal itu gagal," sebutnya.
Pada Hari Rabu, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mendesak para delegasi untuk mendukung resolusi tersebut, yang disponsori oleh lusinan sekutu Ukraina, mengatakan mereka menghadapi "momen yang menentukan".
"Tidak pernah dalam sejarah baru-baru ini garis antara yang baik dan yang jahat begitu jelas. Satu negara hanya ingin hidup. Yang lain ingin membunuh dan menghancurkan," jelas Kuleba.
Namun, duta besar Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya menggambarkan Ukraina sebagai neo-Nazi, menuduh Barat mengorbankan negara itu dan negara berkembang dalam keinginan mereka untuk mengalahkan Moskow.
BACA JUGA:
"Mereka siap untuk menjerumuskan seluruh dunia ke dalam jurang perang" untuk mempertahankan "hegemoni" mereka sendiri, kata Nebenzya.
Resolusi ini menggarisbawahi kebutuhan untuk "mencapai, sesegera mungkin, perdamaian yang komprehensif, adil dan langgeng" sejalan dengan Piagam PBB.
Namun, tidak ada referensi langsung ke rencana perdamaian 10 poin Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang dipresentasikan pada KTT G20 di Bulan November.