TANJUNG SELOR - Pemprov Kalimantan Utara mendorong proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang selama tahun 2022 mencapai 215 kasus kekerasan pada anak dan 182 kasus kekerasan pada perempuan, agar ada efek jera bagi para pelakunya.
“Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah menjadi hal yang sering kita dengarkan bersama. Kita dorong upaya proses hukum terhadap pelaku dan pendampingan hukum untuk korban,” kata Gubernur Kalimantan Utara Zainal A Paliwang di Tanjung Selor dilansir ANTARA, Rabu, 22 Februari.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kalimantan Utara mencatat 215 kasus (87 anak laki-laki dan 128 anak perempuan) kekerasan terhadap anak di Kalimantan Utara pada 2022.
Jenis kekerasan beragam yakni fisik (47 kasus), psikis (42 kasus), seksual (95 kasus), eksploitasi (enam kasus), trafficking (satu kasus), penelantaran (16 kasus), dan lainnya (delapan kasus).
Adapun kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 182 kasus. Dengan rincian kekerasan fisik (90 kasus), psikis (55 kasus), seksual (14 kasus), eksploitasi (nihil kasus), trafficking (nihil kasus), penelantaran (16 kasus), dan lainnya (tujuh) kasus).
Secara nasional, kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi berdasarkan Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA). Pada 2019 terjadi 11.057 kasus, 2020 sebanyak 1.278 kasus, 2021 sebanyak 14.517 kasus, dan 2022 16.106 kasus.
Gubernur mengatakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa menjadi cikal bakal perilaku negatif yang mengarahkan ke perilaku pergaulan bebas, narkoba dan alkohol, serta kejahatan lainnya.
Gubernur Zainal mengimbau semua elemen berperan serta dalam penyelesaian kasus-kasus KDRT. Langkah kecilnya adalah peka dengan keadaan sekitar.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, pemerintah telah memberikan layanan pengaduan melalui Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) kepada korban kekerasan.
“Fasilitas pemerintah ini dapat dimaksimalkan oleh segenap lapisan masyarakat sebagai tempat perlindungan mereka,” ujar dia.
Unsur-unsur pemerintah di daerah ikut diminta mengedukasi masyarakat agar mengetahui unit layanan tersebut agar korban kekerasan terlindungi. Ia mengatakan data korban yang telah melaporkan tindak kekerasan mengalami peningkatan.
“Hal ini menjadi bukti bahwa adanya peningkatan kesadaran korban untuk melapor kepada aparat penegak hukum. Sebelumnya, korban kekerasan enggan untuk melapor karena adanya rasa takut atau malu. Semoga kasus kekerasan segera bisa diselesaikan secara hukum atau restorative justice,” ujar dia.