Dasar Hukum dan Alur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia, Vonis yang Dijatuhkan Hakim untuk Ferdy Sambo
Ferdy Sambo divonis hukuman mati (Foto Rizky Adytia Pramana-VOI)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo dijatuhi vonis hukuman mati oleh Majelis Hakim PN Jaksel atas kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).

"Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana... secara bersama-sama," ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa dalam sidang pembacaan putusan Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 13 Februari.

Dalam putusannya, majelis hakim yakin Ferdy Sambo telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP.

Menurut Majelis hakim mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan ketika menjatuhkan putusan untuk Ferdy Sambo ini.

Untuk hal memberatkan, Ferdy Sambo dianggap berbelit ketika memberikan kesaksian. Dia juga melakukan tindak pidana kepada ajudan sendiri dan menimbulkan kegaduhan luar biasa. Ferdy Sambo juga dianggap mencoreng dan menyeret banyak anggota polisi kepada kasus hukum. Kemudian, tak mengakui perbuatannya.

Lantas, apa itu pidana mati? Apa dasar hukumnya? Bagaimana alur pelaksanaan pidana mati di Indonesia? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, simak artikel berikut ini.

Pengertian Pidana Mati

Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) mengatakan, hukuman mati adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukuman mati merupakan pencabutan nyawa terhadap terpidana.

Disadur dari laman Kemenkumham Sulsel, hukuman mati atau pidana mati adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Dalam bahasa Belanda, pidana mati dikenal dengan istilah doodstraf.

Dasar Hukum Pidana Mati

Hukuman pidana mati di Indonesia pada mulanya diatur dalam Pasal 11 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:

Pidana mati ini dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”

Pelaksanaan Eksekusi Pidana Mati kemudian diubah lewat Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.

Ketentuan pelaksanaan hukuman mati yang tercantum dalam UU Nomor 0202/Pnps/1964 kembali mengalami perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Menyadur Jurnal Syiar Hukum 2007, dalam KUHP ada sembilan jenis kejahatan yang diancam pidana mati, antara lain:

  • Pasal 104: Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden.
  • Pasal 111 ayat (2): Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang.
  • Pasal 124 ayat (3): Pengkhianatan memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh di waktu perang.
  • Pasal 124 bis KUHP: Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara atau pemberontakan di kalangan angkatan perang.
  • Pasal 140 ayat (3): Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat.
  • Pasal 340: Pembunuhan berencana.
  • Pasal 365 ayat (4): Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
  • Pasal 444: Pembajakan di laut yang menyebabkan kematian.
  • Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2): Kejahatan penerbangan dan saranan penerbangan.

Alur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

Ferdy Sambo
Ferdy Sambo dijatuhi vonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan Brigadir J/ANTARA/FOTO Rivan Awal Lingga/aww.

Menurut Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan alur sebagai berikut:

  • Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati.
  • Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan.
  • Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati.
  • Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan.
  • Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan.
  • Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan, "Lapor, pelaksanaan pidana mati siap."
  • Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati.
  • Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, "Laksanakan."
  • Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, "Laksanakan."
  • Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.
  • Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.
  • Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan.
  • Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak.
  • Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana.
  • Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati.
  • Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera melaksanakan penembakan terhadap terpidana.
  • Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.
  • Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
  • Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata.
  • Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak.
  • Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.
  • Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana.
  • Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
  • Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana.
  • Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai".

Demikian informasi tentang dasar hukum dan alur pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Dapatkan update berita terkini hanya di VOI.ID.