JAKARTA - Pemerintah berkomitmen memberantas korupsi meski Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2022 menunjukkan penurunan sebanyak 4 poin.
"Memang biasa itu, kadang turun, naik; tapi yang jelas Pemerintah berkomitmen untuk memberantas korupsi," kata Wapres Ma'ruf Amin di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Sabtu 4 Februari.
Pemerintah akan mengkaji penyebab penurunan indeks tersebut.
"Kami tentu akan teliti ya penurun persepsi korupsi, kami akan kita teliti, ya. KPK sendiri menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendidikan, kemudian juga pencegahan, dan penindakan. Ini secara simultan dilakukan; karena itu, kalau terjadi penurunan itu di mana?" kata wapres dilansir Antara.
Pemerintah juga melakukan berbagai upaya pencegahan melalui pelayanan publik, katanya, seperti mendirikan Mal Pelayanan Publik (MPP) guna melayani masyarakat secara cepat.
"Melalui pelayanan yang digital, tanpa bertemu langsung, sehingga cepat, mudah, dan tidak ada celah melakukan pungli. Kemudian, kami juga membuat semacam zona integritas di birokrasi, kemudian wilayah bebas korupsi. Jadi, itu semua dalam rangka meminimalkan korupsi," jelasnya.
Menurut dia, Pemerintah akan melakukan pembahasan untuk mengetahui komponen utama yang menurunkan IPK Indonesia Tahun 2022.
"(Paling turun) Di sisi mana? Jadi, kami bertekad untuk meminimalkan korupsi bagaimana. Kami berharap penindakan lebih kecil karena sudah (diperbaiki) hulunya. Hulu itu dari pendidikan dan pencegahan yang lebih taat," ujar Wapres Ma'ruf Amin.
Sebelumnya, berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII), Corruption Perception Index atau IPK Indonesia Tahun 2022 melorot 4 poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021, atau berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei. Di 2021, skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96.
IPK mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 berarti sangat korup dan skor 100 berarti sangat bersih.
BACA JUGA:
Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 83, kemudian diikuti Malaysia dengan skor 47, Timor Leste mendapat skor 42, Vietnam meraih skor 42, Thailand memperoleh skor 36, Indonesia dengan skor 34, Filipina meraih skor 33, Laos dengan skor 31, Kamboja mencapai skor 24, serta Myanmar memperoleh skor 23.
Sementara di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, kemudian diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan masing-masin skor 87, Norwegia mendapat skor 84, Singapura dan Swedia dengan masing-masing skor 83, serta Swis memperoleh skor 82.
Di posisi terendah, Somalia mendapat skor 12, sementara Suriah dan Sudan Selatan masing-masing dengan skor 13 serta Venezuela meraih skor 14.
IPK Indonesia sama dengan Bosnia Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone. IPK Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan Kolombia (39), Lesotho (37), Kazakhstan (36), maupun Sri Langka (36).
Deputi TII Wawan Suyatmiko menyebut berdasarkan analisis, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.
"Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?" kata Wawan.
Analisis lain adalah dari sisi indikator politik tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan. Selanjutnya, indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.