JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) periode 2022. Hasilnya, Indonesia merosot empat poin dari 38 menjadi 34.
"CPI Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko di Jakarta, Selasa, 31 Januari.
Ada tiga sumber data yang mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu PRS yang merosot 13 poin; IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin; dan PERC Asia yang turun sebesar 3 poin.
Selajutnya, ada tiga yang mengalami sumber data yang mengalami stagnansi yaitu Global Insight, Bertelsmann Transformation Index, dan Economist Intelligence Unit. Sedangkan yang meningkat adalah World Justice Project–Rule of Law Index dan Varieties of Democracy Project (VDem).
Dengan IPK berjumlah 34, Indonesia kini berada di bawah Timor Leste dan Vietnam yang mendapat skor 42. Sementara untuk wilayah Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup dengan skor 83.
Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90 diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan IPK 87, Norwegia 84, Singapura dan Swedia 83 serta Swiss 82. S
Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14). "Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," ujar Wawan.
TII menilai ada sejumlah tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Dari segi ekonomi, ada pilihan antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.
Berikutnya, dari segi politik tidak terjadi perubahan karena korupsi di ranah ini masih terjadi muali suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan.
Selanjutnya indikator penegakan hukum belum efektif menunjukkan kebijakan antirasuah. "Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum," pungkas Wawan.