YOGYAKARTA - Proses Hukum Acara Pidana di Indonesia merupakan serangkaian kaidah, prosedur, dan aturan regulasi yang membatasi proses aturan pidana pada tata peraturan positif yang berlaku di Indonesia. Istilah hukum acara pidana adalah alih bahasa dari strafvordering didalam Penerjemahan Belanda.
Dalam kaitannya dengan aturan pidana, Hukum acara pidana ialah aturan pidana formal yang berfungsi melakukan aturan pidana substantif. Menurut buku yang ditulis Wirjono Prodjodikoro dengan judul Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Hukum acara pidana formal membatasi perihal bagaimana negara lewat alat-alatnya menjalankan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Berbeda dengan KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita miliki yakni karya agung Bangsa Indonesia. KUHAP ialah aturan pidana formil atau Hukum Acara Pidana yang berisi bagaimana sistem untuk menegakkan aturan pidana materiil. Tegasnya, KUHAP berisi tata sistem atau pengerjaan kepada seseorang yang melanggar aturan pidana.
Pada dasarnya pengerjaan pertama dalam Hukum acara pidana diawali dari penelusuran kemudian penyidikan, penuntutan, putusan hakim. Dalam penelusuran yang bertugas untuk mengerjakannya yaitu Kepolisian Republik Indonesia. Namun demikian, dalam Penyidikan yang mempunyai wewenang yakni Kepolisian Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian untuk tahap penuntutan berada dalam wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dan terakhir untuk putusan kepada suatu tindak pidana berada dalam wewenang hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Proses Hukum Acara Pidana
Penyelidikan
Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 seputar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penelusuran yakni serangkaian perbuatan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu momen yang diduga sebagai tindak pidana guna mempertimbangkan bisa atau tidaknya dijalankan penyidikan berdasarkan langkah yang dibatasi dalam undang-undang ini. Menurut pengertian diatas bisa didapat simpulan bahwa penelusuran bertujuan untuk mengungkapkan apakah suatu tindakan itu digolongkan ke dalam suatu tindak pidana atau bukan.
Penyidikan
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 seputar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan yakni serangkaian perbuatan penyidik dalam hal dan berdasarkan sistem yang dibatasi dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membikin jelas seputar tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh sebab itu, bisa juga ditarik simpulan bahwa penyidikan itu adalah suatu perbuatan lanjutan dari penelusuran dimana telah bisa diatur bahwa tindakan itu adalah suatu tindak pidana.
Penuntutan
Penuntutan merupakan perbuatan penuntut umum guna melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yangmemiliki wewenang dalam hal dan berdasarkan sistem yang dibatasi dalam undang-undang ini dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (vide Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 perihal Kitab Undang-Undang Penuntutan merupakan suatu rangkaian tindakan setelah adanya penyelidikan dan penyidikan.
Sesudah Penuntut umum mendapatkan hasil penyidikan dari penyidik, karenanya dia akan langsung mempelajarinya dan menelitinya serta dalam waktu 7 hari mesti memberitahukan terhadap penyidik apakah hasil penyidikan itu telah komplit atau belum. Jika dalam hal hasil penyidikan terbukti belum komplit, karenanya penuntut umum mengembalikan berkas perkara terhadap penyidik disertai pertanda perihal hal yang seharusnya dikerjakan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari semenjak tanggal penerimaan berkas, penyidik telah sepatutnya memberi tahu kembali berkas perkara terhadap Penuntut Umum.
Putusan Hakim
Pada dasarnya putusan hakim dalam Hukum acara pidana adalah suatu wujud keadilan tertinggi yang diberi terhadap terdakwa dan putusan itu dianggap benar serta mempunyai daya yang mengikat sepanjang tak ada upaya Hukum yang dijalankan oleh terdakwa kepada putusan itu. Dalam hal hakim memutus suatu perkara pidana, karenanya dia seharusnya berlandaskan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian Hukujm. Hakim juga dalam memutus suatu perkara pidana semestinya berlandaskan keyakinan dan alat bukti yang dihadirkan ke persidangan.
Dalam teori Hukum pembuktian, cara Hukum di Indonesia menerapkan cara Hukum Eropa Kontinental yakni negatief wettelijk bewijstheorie yang merupakan dasar pembuktian Hukum pidana dikerjakan berdasarkan keyakinan hakim yang muncul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.
BACA JUGA:
Prinsip itu terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan batasan untuk hakim dalam menjatuhkan sanksi pemidanaan kepada seseorang mesti menurut keyakinan hakim dan minimal dua alat bukti.
Adapun suara Pasal 183 KUHAP yakni “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Jadi setelah mengetahui proses hukum acara pidana, simak berita menarik lainnya di VOI, saatnya merevolusi pemberitaan!