JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, pemangkasan libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 (Nataru) berdampak pada masyarakat konsumen dan sektor pariwisata. Bahkan, berpotensi membuat rugi. Sebab, kebijakan tersebut dikeluarkan secara mendadak.
Seperti diketahui, pada akhir tahun akan ada libur panjang secara besar-besaran. Mulai dari 24 Desember 2020 sampai dengan 3 Januari 2021. Libur panjang itu, sebagai pengganti libur Lebaran atau Idul Fitri.
Namun, setelah mendapatkan masukan dari praktisi kesehatan dan para pengamat kebijakan publik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta libur panjang dipangkas. Alasannya, tidak lain karena kasus positif COVID-19 di Tanah Air masih sangat tinggi.
Kemudian, pemerintah menetapkan pada 24 Desember hingga 27 Desember 2020 sebagai libur Natal 2020. Sementara untuk 28 hingga 30 Desember 2020 tidak libur. Sedangkan, libur tahun baru pada 31 Desember 2020 dan 1 hingga 3 Januari 2021.
Tak hanya itu, pada tanggal 17 Desember muncul kebijakan baru yang dirasa lebih mendadak. Pemerintah melalui Menko bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan syarat berpergian saat Natal dan Tahun Baru yang mulai berlaku pada tanggal 19 Desember.
Pemerintah mewajibkan perjalanan darat ke Bali dan Jawa untuk melakukan rapid test antigen pada H-2 atau 2x24 jam sebelum keberangkatan. Sementara, penumpang pesawat ke Bali wajib melakukan tes uji usap (swab) Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 sebelum keberangkatan.
Menurut Tulus, kebijakan mendadak ini membuat masyarakat dan pelaku usaha sektor pariwisata kalang kabut. Sebab, sejak kebijakan tersebut disampaikan, secara bersamaan masyarakat mengembalikan tiket dalam waktu dan hari yang sama.
"Masalahnya masyarakat konsumen sudah kadung beli tiket ke Yogyakarta, Bali dan segala macam. Apalagi sekarang ada aturan baru tes rapid antigen tes PCR sehingga banyak masyarakat yang mengembalikan tiket besaranya sampai Rp300 miliar lebih," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 21 Desember.
BACA JUGA:
Tulus menilai, pemerintah tidak belajar dari penanganan pandemi COVID-19 dari sebelum-sebelumnya. Padahal, kata dia, libur panjang di masa pandemi berpotensi untuk meningkatkan penularan virus.
Lebih lanjut, kata Tulus, pemerintah harusnya berkaca pada kebijakan yang diambil negara lain. Di mana, pemerintah di sana selama pandemi COVID-19 meniadakan libur long weekend. Sebalinya, di Indonesia justru pada saat 17 Agustus 2020 dan peringatan Maulid Nabi yang tidak dibuat long weekend justru dibuat.
"Akhirnya selepas libur panjang kemudian terjadi kenaikan (kasus positif COVID-19) signifikan," ucapnya.
Tulus juga meyakini, pascalibur Nataru 2020 kasus COVID-19 akan kembali meningkat. Sehingga perlu diwaspadai betul-betul oleh pemerintah. Apalagi di Jakarta tingkat rasio terpaparnya masih tinggi di 9,8 persen. Sementara WHO merekomendasikan hanya sebatas 5 persen.
"Kita waspadai semua dengan libur sekalipun 4 hari. Ini akan menjadi beban berat bagi tenaga kesehatan dan rumah sakit yang sudah hampir menyerah. ini harus diwaspadai betul agar tidak terjadi," ucapnya.