Bagikan:

MATARAM - Bendahara Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Pringgasela Saipuddin yang menjadi terdakwa dalam perkara pencatutan 22 nama guru untuk pengajuan kredit di BPR Nusa Tenggara Barat Cabang Aikmel divonis 7 tahun penjara.

Ketua Majelis Hakim Ketut Somanasa menjatuhkan vonis hukuman tersebut sesuai dengan pembuktian pidana pada dakwaan primer jaksa penuntut umum.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta," kata Ketut Somanasa dalam sidang putusan Saipuddin di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Antara, Selasa, 20 Desember. 

Apabila tidak mampu membayar denda dalam periode 1 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka hakim mewajibkan terdakwa mengganti dengan lima bulan kurungan.

Selain itu, hakim membebankan Saipuddin untuk membayar kerugian negara Rp986 juta subsider 2 tahun penjara.

Dakwaan primer untuk Saipuddin itu menguraikan tentang tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan dan perekonomian negara.

Aturan pidana tersebut berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam putusan, hakim menguraikan peristiwa pidana dari pencatutan nama guru untuk kebutuhan pengajuan kredit di BPR tersebut.

Terdakwa Saipuddin mengajukan kredit dengan memanfaatkan jabatan sebagai Bendahara UPT Dinas Dikbud Cabang Aikmel.

Bekerja sama dengan terdakwa lain, yakni Afif Muafi sebagai pegawai di BPR NTB Cabang Aikmel, Saipuddin mengajukan kredit pada tahun 2020 dengan mencatut 22 nama guru.

Untuk setiap nama, Saipuddin membuat pengajuan pinjaman uang Rp50 juta sehingga menimbulkan kerugian negara sedikitnya Rp1 miliar. Angka kerugian yang muncul dikuatkan dari hasil audit Inspektorat Lombok Timur.