Diduga Minta Uang Rp3,5 Miliar dan Terima Gratifikasi hingga Rp9 Miliar, Kepala BPN Riau Ditahan KPK
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers kasus dugaan korupsi Kepala BPN Riau/FOTO: Wardhany Tsa Tsia-VOI

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau M. Syahrir. Dia diduga meminta uang hingga Rp3,5 miliar untuk pengurusan hak guna usaha (HGU) dan menerima gratifikasi sebesar Rp9 miliar.

"Terkait kebutuhan proses penyidikan untuk tersangka MS dilakukan penahanan oleh tim penyidik dengan waktu 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Desember.

Ghufron mengatakan Syahrir ditahan di Rutan KPK pada Kavling C1. Penahanan ini dilakukan hingga 20 Desember dan akan diperpanjang sesuai kebutuhan penyidik.

Dalam kasus ini, Syahrir diduga meminta uang sebesar Rp3,5 miliar dengan pecahan dolar Singapura. Permintaan ini berkaitan dengan pengurusan dan perpanjangan sertifikat hak guna usaha PT Adimulia Agrolestari (AA).

Kata Ghufron, permintaan Syahrir ini berawal dari keaktifan Sudarso selaku General Manager PT AA melakukan pertemuan dengan Syahrir. Bahkan, pertemuan sempat dilakukan di rumah dinas Syahrir.

"Diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA," ungkapnya.

Dari pertemuan itu, Sudarso kemudian menginformasikan permintaan uang ke pemegang saham PT AA, Frank Wijaya. Saat itu dia meminta Rp1,2 miliar atau setara 120 ribu dolar Singapura dari kas perusahaan yang kemudian disetujui.

Setelah uang tersebut diterima, Sudarso kemudian menyerahkan uang kepada Syarir pada September 2021. Penyerahan dilakukan di rumah dinas.

"MS memberi syarat agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," jelas Ghufron.

Syahrir yang telah menerima uang kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA. Adapun dalam penerimaan uang, Syahrir diduga menggunakan sejumlah rekening milik pegawai Kanwil BPN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar.

"Dikurun waktu September 2021 sampai 27 Oktober 2021 MS menerima aliran uang baik melalui rekening pribadi maupun atas nama beberapa pegawai BPN sebesar Rp791 juta berasal dari FW," kata Ghufron.

Selain itu, Syahrir juga diduga menerima gratifikasi senilai Rp9 miliar. Penerimaan itu dilakukannya pada 2017 hingga 2021.

"MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," tegas Ghufron.

Akibat perbuatannya, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.