JAKARTA - Aparat keamanan di China memperketat pengamanan pada Hari Senin, dengan polisi melakukan patroli di lokasi protes menolak pembatasan COVID-19 pada akhir pekan di Shanghai dan Beijing dan kota-kota lain di China.
Dari jalan-jalan di beberapa kota China hingga lusinan kampus universitas, pengunjuk rasa menunjukkan ketidaktaatan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya, sejak Presiden Xi Jinping menjabat sekitar satu dekade lalu.
"Yang kami keberatan adalah pembatasan hak-hak orang atas nama pencegahan virus, pembatasan kebebasan individu dan mata pencaharian masyarakat," kata Jason Sun, seorang mahasiswa di Shanghai, melansir Reuters 28 November.
Tidak ada tanda-tanda protes baru pada Hari Senin di Beijing atau Shanghai, tetapi puluhan polisi berada di lokasi di mana demonstrasi akhir pekan terjadi.
Tetapi, jalan-jalan Shanghai tempat pengunjuk rasa berkumpul diblokir dengan penghalang logam biru untuk mencegah kerumunan berkumpul. Polisi dengan rompi visibilitas tinggi berpatroli berpasangan, sementara mobil dan sepeda motor polisi lalu-lalang.
Toko-toko dan kafe-kafe di daerah itu diminta tutup, kata seorang anggota staf di salah satunya kepada Reuters.
Ditanya tentang kemarahan yang meluas atas kebijakan nol-COVID China, juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian mengatakan kepada wartawan, "Apa yang Anda sebutkan tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kami percaya bahwa dengan kepemimpinan Partai Komunis China dan kerja sama serta dukungan rakyat China, perjuangan kita melawan COVID-19 akan berhasil," sebutnya.
Media pemerintah tidak menyebut-nyebut protes tersebut, melainkan mendesak warga dalam tajuk rencana untuk tetap berpegang pada aturan COVID.
Sementara, banyak analis mengatakan China tidak mungkin dibuka kembali sebelum Maret atau April, dan membutuhkan kampanye vaksinasi yang efektif sebelum itu.
Reaksi terhadap pembatasan COVID-19 merupakan kemunduran bagi upaya China untuk memberantas virus tersebut.
BACA JUGA:
Kebijakan nol-COVID telah membuat jumlah kematian resmi China sekitar ribuan, dibandingkan lebih dari satu juta di Amerika Serikat, tetapi harus mengorbankan jutaan orang untuk waktu yang lama di rumah, menyebabkan gangguan dan kerusakan yang luas pada negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Meninggalkannya berarti membatalkan kebijakan yang diperjuangkan oleh Presiden Xi. Itu juga akan berisiko membebani sistem kesehatan, menyebabkan penyakit dan kematian yang meluas di negara dengan ratusan juta lansia dan tingkat kekebalan yang rendah terhadap COVID-19, kata para ahli.