JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Tenaga Ahli DPR Fraksi PAN Suherlan sebagai tersangka dugaan suap pengurusan dana perimbangan pada APBN 2017-2018. Kasus ini merupakan pengembangan dari kasus suap yang menjerat mantan anggota DPR Sukiman.
"KPK meningkatkan status perkara ini ke penyidikan dengan mengumumkan tersangka SL," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 22 November.
Ketua DPD PAN Subang ini ditahan di Rutan KPK pada Kavling C1. Penahanan dilakukan selama 20 hari yang kemudian akan diperpanjang.
Karyoto mengatakan Suherlan bersama Plt Kadis PUPR Pegunungan Arfak Natan Pasomba menemui pejabat Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Rifa Surya bersepakat mengurusi alokasi DAK APBN-P 2017. Ada kesepakatan fee sebesar 9 persen.
Selanjutnya, Suherlan bersama Rifa menemui Sukiman di DPR RI dan menyatakan Natan siap memberi uang. Asalkan, Kabupaten Pegunungan Arfak masuk daftar aspirasi DPR untuk mendapat alokasi dana yang maksimal.
"Dengan bantuan Sukiman, dana DAK untuk Kabupaten Pegunungan Arfak sebesar Rp4,9 miliar disetujui oleh Banggar DPR RI dan hal ini diinformasikan tersangka SL dan Rifa Surya ke Natan Pasomba," ungkap Karyoto.
BACA JUGA:
Pada 2018, Karyoto mengatakan Natan kembali minta kepada Suherlan dan Rifa untuk difasilitasi mendapat alokasi DAK APBN. "Kesepakat besaran fee masih dengan 9 persen dari nilai DAK yang nantinya akan cair," ujarnya.
Masih dengan cara yang sama, Sukiman kembali membantu dan Kabupaten Pegunungan Arfak kembali mendapat uang sebesar Rp79 miliar. Setelah uang cair, Natan mengirim uang ke Rifa Surya dan Suherlan lewat rekening PT Dipantara Inovasi Teknologi yang diteruskan ke Sukiman dengan cara tunai sebesar Rp2,6 miliar dan 22 ribu dolar Amerika.
"Selain itu, Rifa Surya dan tersangka SL juga menerima uang terpisah dari yang diterima Sukiman dengan jumlah sekitar Rp800 juta," jelas Karyoto.
Akibat perbuatannya, Suherlan disangka melanggar melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.