Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Pukyong National University (PKNU), Korea Selatan. Penghargaan untuk Puan dinilai bisa menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia.

Menurut Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Luky Sandra Amalia, keberadaan Puan sebagai Ketua DPR tidak saja dimaknai sebagai langkah maju Indonesia dalam mewujudkan gender mainstreaming di segala bidang.

“Tetapi juga bermakna mewujudkan cita-cita kesetaraan gender warga dunia. Hal inilah yang ditangkap oleh Pukyong National University Korea,” kata Amalia dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Rabu, 9 November.

Prestasi-prestasi Puan selama berkecimpung di dunia politik pun dinilai telah dibuktikan lewat berbagai pengakuan. Penghargaan dari PKNU sendiri merupakan gelar kedua Doktor Honoris Causa yang didapat Puan dalam kurun waktu 2 tahun.

"Keberadaan Puan sebagai ketua DPR seolah membuka dinding ketidakmungkinan yang selama ini menghantui perempuan ketika hendak berkiprah di dunia politik,” lanjutnya.

Amalia mengatakan, pemberian gelar kehormatan akademis Doktor Honoris Causa bukan hal sembarangan. Ia menyebut, Universitas pemberi gelar tentu memiliki sejumlah pertimbangan. 

"Keberadaan Puan sebagai Ketua DPR perempuan pertama sepanjang sejarah Indonesia saja sudah merupakan fenomena yang cenderung langka dalam dunia politik yang maskulin,” tutur Amalia.

Aktivis perempuan dari Sarinah Institute ini menyoroti bagaimana perbedaan DPR yang selama ini lekat dengan budaya patriaki setelah dipimpin oleh Puan. Amalia memberi contoh soal keberhasilan DPR di era kepemimpinan Puan dalam mewujudkan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“UU TPKS terbengkalai selama dua periode DPR dipimpin laki-laki, dan kita bersyukur akhirnya berhasil disahkan ketika Puan menjadi Ketua DPR,” tegasnya.

“Harus diakui bahwa pengesahkan UU TPKS ini merupakan sebuah keberhasilan lembaga legislatif untuk melindungi warga negaranya yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual yaitu perempuan,” imbuh Amalia.

DPR di bawah kepemimpinan Puan juga telah menginisiasi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Amalia menilai RUU KIA akan menjadi bentuk perlindungan negara terhadap perempuan sebagai Ibu dan anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. 

“Semoga RUU KIA bukan yang terakhir, kita semua tentu berharap kiprah berikutnya dari seorang Puan untuk terus membunyikan kesetaraan gender di negeri ini,” ujarnya.

Untuk itu, kata Amalia, kebijakan afirmasi mendorong lebih banyak perempuan di parlemen sangat-lah penting. Hal tersebut dimaksudkan agar lembaga legislatif lebih banyak menghasilkan produk-produk legislasi yang berperspektif gender.

“Setelah empat periode atau 20 tahun ketua DPR RI dipimpin oleh laki-laki, hadirnya seorang perempuan memimpin DPR seolah menghapus image bahwa politik itu dunianya laki-laki,” sebut Amalia.

Sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, perempuan dinilai juga bisa mempengaruhi keputusan politik melalui kiprahnya di dunia politik, lembaga legislatif, maupun lembaga pemerintahan. Amalia pun mendukung agar semakin banyak perempuan yang berkiprah di ruang-ruang kebijakan, seperti halnya yang dilakukan Puan.

“Penguatan konsistensi Puan sebagai Ketua DPR dapat terus melahirkan produk-produk kebijakan yang berperspektif gender menuju terwujudnya kesetaraan gender,” ungkap mahasiswa PhD di University of Sydney, Australia itu.

Persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam bidang politik, juga disampaikan Puan dalam Pidato Ilmiahnya saat dikukuhkan sebagai Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Politik dari PKNU. Upacara penganugerahan gelar Doktor Kehormatan untuk Puan digelar di Kampus PKNU yang berada di Busan, Korea Selatan, Senin (7/11) kemarin.

Puan menyebut demokrasi menjamin partisipasi warga bangsa dalam mengartikulasikan hak politik, hak sosial, hak budaya dan hak ekonomi. Ia menegaskan, demokrasi juga memberikan ruang artikulasi kaum perempuan dalam segala bidang. 

“Menyertakan perempuan dalam setiap jabatan bukan sebagai kebijakan afirmatif, akan tetapi merupakan kesadaran atas penghargaan harkat dan martabat manusia,” kata Puan.

Menurut perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR itu, inti dari pembangunan kesetaraan dan keadilan gender bukanlah meneguhkan siapa yang mendominasi dan didominasi. Melainkan, kata Puan, bagaimana menemukan koridor untuk saling berbagi secara adil dalam segala aktivitas kehidupan tanpa membedakan pelakunya laki-laki maupun perempuan. 

“Hal tersebut juga sama halnya dengan tidak membedakan pelaku aktivitas kehidupan karena perbedaan warna kulit, ras, dan keyakinan,” ucapnya.

Puan mengilustrasikan laki-laki dan perempuan sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayapnya sama kuat maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. Namun jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka burung tak dapat terbang sama sekali.

“Inilah semangat yang juga harus kita tanamkan bersama dalam membangun kehidupan demokrasi, di mana perempuan dan laki-laki dalam harkat, martabat, kemajuan dan kesejahteraan yang sama.

Negara tidak mungkin sejahtera dan maju jika para perempuannya tertinggal,” papar Puan.

Mantan Menko PMK ini pun mendedikasikan penghargaan gelar Doktor Honoris Causa yang didapatnya untuk semua perempuan Indonesia. Puan mengatakan, doktor kehormatan dari PKNU merupakan pengakuan atas kerja dan semangat perempuan Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

“Doktor Kehormatan dari Universitas Pukyong merupakan penghargaan tidak saja bagi saya, namun juga bagi kepemimpinan perempuan di Indonesia, bagi kontribusi DPR bagi pembangunan Indonesia, dan bagi erat nya hubungan Indonesia dan Korea Selatan,” ungkap cucu Bung Karno itu.