Bagikan:

JAKARTA - Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai 500 juta dolar AS (estimasi kurs Rp14.100 per dolar AS). Dana itu untuk menunjang upaya pemerintah Indonesia dalam memperluas akses keuangan bagi UMKM serta kelompok marjinal.

Spesialis Sektor Keuangan ADB untuk Asia Tenggara Poornima Jayawardana mengatakan, pinjaman yang diberikan ini sekaligus untuk meningkatkan inklusi keuangan Indonesia di tengah pandemi COVID-19.

Program promosi inklusi keuangan inovatif akan membantu pemerintah Indonesia menyasar dan memantau inklusi keuangan secara lebih baik, meningkatkan infrastruktur pembayaran, serta memperkuat kerangka regulasi bagi layanan keuangan digital, privasi data, perlindungan konsumen, dan literasi keuangan.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, program ini akan membantu membangun sektor layanan keuangan yang lebih inklusif, yang akan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta menunjang pembangunan berkelanjutan jangka panjang Indonesia.

"Inklusi keuangan akan berperan penting dalam pemulihan Indonesia dari pandemi. Akses yang lebih setara dan efisien ke produk dan layanan keuangan dapat memitigasi dampak ekonomi dan sosial dari pandemi, membangun kembali penghidupan, dan bersiap menghadapi guncangan ekonomi di masa mendatang," tuturnya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 9 Desember.

Poorima menuturkan, dukungan reformasi dari program ini menghasilkan kebijakan dan teknologi yang mendorong inovasi dengan membuka akses ke produk dan layanan keuangan formal.

"Meningkatkan kualitas layanan tersebut sekaligus menjangkau populasi yang lebih luas dan belum sepenuhnya terlayani," katanya.

Berdasarkan survei nasional inklusi keuangan yang diadakan oleh Dewan Nasional Keuangan Inklusif menunjukkan bahwa persentase orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening bank meningkat dari 35 persen pada 2016, menjadi 56 persen pada 2018. Meskipun mengalami kemajuan, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.

Lebih lanjut, Poorima mengatakan, karena itu penyediaan layanan keuangan bagi seluruh penduduk Indonesia merupakan tantangan bagi negara yang memiliki keragaman geografis dan budaya demikian besar. Serta perbedaan yang signifikan untuk akses ke produk-produk keuangan antar-daerah dan antar-kelompok penduduk.

Apalagi, pandemi COVID-19 juga memperburuk situasi finansial, karena masyarakat yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan biasanya tidak memiliki tabungan atau akses ke pinjaman untuk bertahan di tengah kemerosotan ekonomi.

"Program ADB mendukung sasaran pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang menggunakan produk atau layanan keuangan dari lembaga keuangan formal, dari 76 persen pada 2019 menjadi 90 persen pada 2022," katanya.

ADB telah mendukung inklusi keuangan di Indonesia melalui berbagai program sejak 2002. Saat itu, ADB mulai membantu mengembangkan sektor pembiayaan mikro guna meningkatkan akses ke pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah.

Sekadar informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga akhir Oktober 2020 mencapai Rp5.877,17 triliun.

Berdasarkan data Kemenkeu, posisi utang tersebut naik Rp120,3 triliun jika dibandingkan utang pada posisi September 2020 yang sebesar Rp5.756,87 triliun. Jika dirinci lebih lanjut, utang pemerintah pusat itu masih didominasi dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp5.028,86 triliun atau sebesar 85,56 persen dari total utang pemerintah.

Kemudian disusul oleh utang pinjaman yang sebesar Rp848,85 triliun, atau sebesar 14,44 persen dari total utang pemerintah. Sementara, SBN sendiri terdiri dari SBN berdenominasi domestik yang mencapai Rp3.782,86 triliun. Sedangkan utang SBN berdenominasi valas mencapai Rp1.246,16 triliun.

Selain itu, utang pinjaman, terdiri dari pinjaman luar negeri pemerintah mencapai Rp837,77 triliun, serta pinjaman dalam negeri pemerintah yang mencapai Rp11,08 triliun.