JAKARTA - Iuran BPJS Kesehatan Kelas III berpeluang kembali ke besaran sebelumnya yakni Rp25.500. Pada rapat Focus Group Discussion (FGD) antara Komisi IX dengan BPJS Kesehatan, Kejaksaan Agung, Polri dan BPK, semua pihak sepakat tidak ada kenaikan untuk iuran ini.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat, mengatakan, hasil FGD ini memutuskan agar Polri, BPK, dan Kejagung memberikan pendapat secara tertulis kepada Komisi IX dan Direksi BPJS Kesehatan. Agar direksi bisa memutuskan langkah yang bisa diambil selanjutnya.
"Jadi kami kasih dua hari, untuk semua berikan pendapat tertulis. Kami instruksikan juga setelah mendapat pendapat tersebut, BPJS bisa mengambil sikap," kata Dasco dalam FGD yang diselenggarakan Komisi IX di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 28 Januari.
Selanjutnya, BPJS akan melaporkan hasil FGD ini kepada Presiden Joko Widodo. Setelah itu, direksi akan mengambil langkah selanjutnya.
"Dua hari ini kami tunggu pendapat tertulis tiga lembaga (Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Badan Pemeriksa Keuangan), dan setelah itu yang terkait diskresi kami akan laporkan kepada atasan langsung kami, presiden," kata Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
Dalam rapat FGD tersebut, Fahmi mengungkapkan kekhawatiran direksi, dewan pengawas BPJS, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengenai risiko hukum jika menjalani keputusan rapat antara Komisi IX, Menkes dan BPJS pada Desember 2019.
BACA JUGA:
Kekhawatiran pihak BPJS berangkat dari peraturan yang berlaku. Di dalam PP 87 nomor 2013 pasal 21 dijelaskan BPJS hanya bisa mengalirkan dananya untuk tiga hal, pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan jaminan kesehatan, dana operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan, dan investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundangan undangan.
"Pada tanggal 23 Desember Dewan Pengawas bersurat kepada kami direksi bahwa terdapat potensi risiko hukum jika dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Jadi tidak ada di dalam undang-undang itu menyatakan pemanfaatan untuk subsidi peserta lain kira-kira seperti itu," ucapnya.
Kekhawatiran pihak BPJS ini direspons Plh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono. Menurut dia, terkait masalah ini BPJS Kesehatan bisa saja tidak melanggar hukum.
Ali menjelaskan, ada jurisprudensi MA yang dikatakan meskipun terpenuhi unsur tindak pidana korupsi (tipikor) dan diatur dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999, asalkan, apa yang dilakukan BPJS digunakan untuk kepentingan umum dan tidak menguntungkan satu pihak. Maka sifat melawan hukum perbuatan itu menjadi hilang atau tak ada.
"Untuk ukur masalah ini, meskipun bisa terduga pelanggaran, selama dia tidak mendapat keuntungan dan untuk kepentingan umum maka tidak melanggar hukum. Jangan takut kalau untuk kepentingan umum," ucap Ali.
Ali menjelaskan, hal ini bisa dilakukan sebagai diskresi hukum untuk mengatasi keputusan pemerintah yang buntu. Sebagaimana tertuang di dalam UU 30 tahun 2014.
"Diskresinya kan syaratnya itu tadi disampaikan pada UU 30 tahun 2014 itu untuk mengatasi stagnasi pemerintahan. UU 30 tahun 2014 tentang adminsitrasi pemerintahan," tuturnya.
Menurut Ali, diskresi seperti ini sering dilakukan kecil-kecilan oleh Polisi. Misalnya dalam mengatur lalu lintas, ada kebuntuan namun melanggar peraturan bisa saja aturan itu didobrak.
"Diskresi yang kecil-kecilan aja itu kan, sering di Polisi itu lho. Di sini macet misalnya, di sini larangan karena lampu merah. Buntu, nah itu diskresi dia memperbolehkan lewat," katanya.
Sebelumnya, dalam rapat Komisi IX tanggal 12 Desember 2019 telah disepakati pemberian subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran pada peserta jenis mandiri Kelas III. Sehinggam iuran tersebut tak jadi naik. Usulan Menkes Terawan itu mendapatkan persetujuan dari anggota Komisi IX.
Namun demikian, usulan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Iuran BPJS Kesehatan tetap naik hingga dua kali lipat untuk seluruh kelas pada awal Januari 2020.