JAKARTA - Pandemi COVID-19 membuat penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini berbeda dari sebelumnya. Protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan tidak berkerumun yang harus dipatuhi, membuat Pilkada tahun ini tak memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi baik di daerah maupun nasional.
Sebelum adanya pandemi, tahapan Pilkada mampu menggerakkan ekonomi di daerah dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi baik di daerah maupun nasional. Hal itu karena terjadi berbagai transaksi bisnis, seperti belanja atribut kampanye, keterlibatan event organizer untuk urusan panggung hiburan, hingga UMKM dan pedagang kaki lima yang turut meramaikan saat ada kumpulan massa.
Jika dalam kondisi normal dengan peserta Pilkada mencapai 735 paslon, jika rata-rata paslon memiliki biaya kampanye paling sedikit Rp1 miliar maka perputaran uang bisa mencapai Rp735 miliar, ini jumlah minimal, wajarnya bisa mencapai Rp5 triliun melihat karateristik daerah masing masing. Jumlah ini sangat signifkan menggerakkan ekonomi daerah dan memberikann kontribusi terhadap pertumbuhan nasional.
Ketua Umum DPD HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang menilai Pilkada serentak tahun ini tidak dapat memberikan dampak ekonomi seperti sebelumnya. Hal ini karena keterbatasan ruang kampanye yang berpedoman terhadap protokol kesehatan.
"Pilkada tahun ini bisa disebut Pilkada paket hemat, para paslon sangat membatasi belanja kampanye mungkin juga karena keterbatasan dana karena tidak mendapat support dari pelaku usaha karena terdampak pandemi COVID-19," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 9 Desember.
BACA JUGA:
Tahapan Pilkada tahun ini, kata Sarman, banyak diramaikan melalui sosial media dan virtual sehingga transaksi ekonomi sangat minim terjadi. Tak hanya itu, para pasangan calon lebih banyak berbelanja alat-alat kesehatan seperti hand sanitizer, masker dan lain-lain untuk dibagikan ke masyarakat, sedangkan atribut lainnya sekalipun dibelanjakan namun sangat minim.
Sarman berujar, dana kampanye yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp20 triliun perputarannya sangat terbatas. Karena dipakai untuk pengadaan surat dan kotak suara, peralatan kesehatan dan berbagai persiapan Pilkada lainnya.
"Hanya sedikit yang sampai ke tangan warga berupa honor para petugas KPPS, sehingga tidak signifikan dampaknya terhadap kenaikan konsumsi rumah tangga," jelasnya.