Pangeran Arab Saudi dan Menlu Israel Bersitegang soal Nasib Palestina
Seorang pria Palestina di cek poin Ramallah (Cole Keister/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pangeran Arab Saudi mengkritik keras Israel pada pertemuan puncak keamanan Bahrain yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel. Hal tersebut menunjukkan tantangan yang dihadapi setiap kesepakatan lebih lanjut antara negara-negara Arab dan Israel dengan tidak adanya kesepakatan negara Palestina yang merdeka.

Mengutip Al Jazeera, Senin, 7 Desember, ucapan berapi-api dari pangeran bernama Turki bin Faisal Al Saud nampak membuat Menlu Israel kehabisan kata-kata. Hal tersebut dikarenakan Israel awalnya menerima sambutan hangat dari para pejabat di Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) menyusul perjanjian untuk menormalisasi hubungan.

Namun, yang tidak terselesaikan dari kesepakatan itu adalah konflik selama puluhan tahun antara Israel dan Palestina. Orang-orang Palestina memandang perdamaian Bahrain-UEA dengan Israel sebagai tusukan dari belakang dari sesama orang Arab dan pengkhianatan atas perjuangan mereka.

Pangeran Turki bin Faisal membuka sambutannya dengan membandingkan apa yang dia gambarkan persepsi Israel yang menyatakan negaranya "penegak prinsip moral yang tinggi dan cinta damai" namun berkebalikan dengan kenyataan, yaitu realita Palestina yang jauh lebih gelap dari hidup di bawah kekuasaan "penjajahan Barat."

"Israel telah memenjarakan (Palestina) di kamp-kamp konsentrasi di bawah tuduhan keamanan yang paling tipis, tua dan muda, wanita dan pria, yang membusuk di sana tanpa meminta keadilan," kata Pangeran Turki.

"Mereka menghancurkan rumah sesuka mereka dan mereka membunuh siapa pun yang mereka inginkan."

Pangeran juga mengkritik persenjataan senjata nuklir Israel yang tidak dideklarasikan dan pemerintah Israel "melepaskan antek politik mereka dan outlet media mereka dari negara lain untuk merendahkan dan menjelekkan Arab Saudi."

Dalam bahasa yang sangat blak-blakan, Pangeran Turki bin Faisal juga mengatakan Israel menggambarkan dirinya sendiri sebagai "negara kecil yang terancam secara eksistensial, dikelilingi oleh pembunuh haus darah yang ingin membasmi keberadaannya."

“Namun mereka mengaku ingin berteman dengan Arab Saudi,” katanya.

Pangeran Turki menegaskan kembali posisi resmi kerajaan Arab Saudi bahwa solusinya terletak pada penerapan Inisiatif Perdamaian Arab, kesepakatan yang didukung Arab Saudi pada 2002. Perjanjian tersebut menawarkan hubungan penuh Israel dengan semua negara Arab sebagai imbalan atas kenegaraan Palestina di wilayah yang direbut Israel pada 1967.

Dia menambahkan: Anda tidak dapat mengobati luka terbuka dengan obat paliatif dan penghilang rasa sakit.

Menlu Israel Gabi Ashkenazi, yang berbicara segera setelah Pangeran Turki, berkata, “Saya ingin mengungkapkan penyesalan saya atas komentar perwakilan Arab Saudi. Saya tidak percaya bahwa mereka mencerminkan semangat dan perubahan yang terjadi di Timur Tengah."

Konfrontasi bolak-balik antara Pangeran Turki dan orang kepercayaan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu selama petemuan tersebut menyoroti penentangan yang terus meluas terhadap Israel oleh banyak orang di Arab Saudi. Meskipun ada beberapa upaya yang didukung negara untuk mempromosikan penjangkauan dengan kelompok-kelompok Yahudi dan pendukung Israel.

Ashkenazi, sementara itu, menegaskan kembali posisi Israel bahwa Palestina yang harus disalahkan karena tidak mencapai kesepakatan damai. "Kami memiliki pilihan di sini bersama Palestina apakah akan menyelesaikannya atau tidak, atau melakukan permainan menyalahkan ini," kata Ashkenazi. 

Dore Gold, orang kepercayaan PM Netanyahu dan mantan duta besar PBB, menyiratkan pernyataan Pangeran Turki adalah "tuduhan masa lalu yang mana di antaranya banyak yang salah". "Saya pikir Dore Gold harus menjadi orang terakhir yang berbicara tentang kepercayaan dan posisi sebelumnya di sini," kata pangeran.

Pangeran Turki memimpin intelijen Arab Saudi selama lebih dari 20 tahun. Ia juga menjabat sebagai duta besar untuk Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Meskipun dia sekarang tidak memegang posisi resmi, pendiriannya dipandang sangat mirip dengan Raja Salman.

Namun, putra raja yang tegas, Mohammed bin Salman, terlihat memiliki kemauan yang lebih besar untuk secara diam-diam terlibat dengan Israel untuk melawan saingan bersama Iran. Ia juga ingin meningkatkan investasi asing di Arab Saudi.