KPK Diminta Kembangkan Kasus Suap Penerimaan Mahasiswa Baru di Unila
Petugas KPK membawa Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani (rompi oranye) selaku tersangka untuk dihadirkan dalam konferensi pers Minggu 21 Agustus. (Antara-Sigid K)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menjerat pelaku lain di kasus suap penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung (Unila). Seluruh pemberi suap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"KPK berkewajiban menindaklanjuti kalau tidak tentu terkesan tebang pilih," kata pakar hukum Universitas Andalas Feri Amsari kepada wartawan, Kamis, 20 Oktober.

Feri meminta keterangan Rektor Unila nonaktif Karomani menjadi dasar bagi KPK untuk mengusut penyuap lainnya. Apalagi, tersangka penerima suap itu sudah mengakui ada pihak lain yang memberi uang demi mendapat bangku di universitas negeri itu.

"Tentu saja (harus) tindak lanjut perkara. Artinya Karomani menyatakan proses penerimaan mahasiswa baru di Unila penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme," tegasnya.

"Meskipun kebijakan korupsi (penerimaan mahasiswa jalur mandiri, red) sudah dihapus bukan berarti potensi korupsinya hilang. Jangan berhenti di Karomani," sambung dia.

Sebelumnya, KPK menetapkan empat tersangka dugaan suap penerimaan mahasiswa baru pada Universitas Lampung tahun 2022. Penetapan tersangka ini berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan di Lampung, Bandung, dan Bali.

Para tersangka yang terjerat kasus ini adalah Rektor Universitas Lampung 2020-2024 Karomani; Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Lampung Heryandi; Ketua Senat Universitas Lampung Muhammad Basri; dan swasta Andi Desfiandi.

Dalam kasus ini, Karomani diduga mematok harga bagi calon mahasiswa baru di kampusnya dengan kisaran Rp100 juta hingga Rp350 juta saat melaksanakan Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Permintaan ini disampaikan setelah Heryandi dan Muhammad Basri menyeleksi secara personal kesanggupan orang tua mahasiswa untuk membayar.

Dari perbuatannya itu, Karomani diduga berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp603 juta dari dosen bernama Mualimin. Selanjutnya, dia menggunakan uang yang diterimanya untuk keperluan pribadi sebesar Rp575 juta.

Sementara dari Muhammad Basri dan Budi Sutomo yang merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Universitas Lampung, diduga total uang yang diterima Karomani mencapai Rp4,4 miliar. Uang ini kemudian dialihkan menjadi tabungan deposito, emas batangan, dan masih ada yang dalam bentuk tunai.