Bagikan:

SEMARANG – AH (45), Pendiri Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Giri Muria Group (GMG) mengaku awalnya usahanya tersebut berjalan lancar. Namun, sejak pandemi COVID 19 melanda, mulai terdapat gangguan. Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Kombes Dwi Subagio juga menjelaskan hal tersebut di hadapan wartawan.

"Tadinya baik-baik saja, tapi ada pandemi mulai collapse," ujar Kombes Dwi Subagio dalam keterangan tertulis, Senin, 10 Oktober.

Kabid Humas Polda Jateng Kombes Iqbal Alqudusy mengungkapkan, tersangka AH tercatat sebagai warga Kudus dan KSP GMG Giri Muria Group itu beroperasi di Kabupaten Kudus sejak tahun 2015.

"Aksinya dilakukan sejak 2015 sampai 2021. Korban yang sudah melapor sembilan orang dengan kerugian Rp16,6 M," kata Iqbal Alqudusy.

Kombes Dwi Subagio melanjutkan, modus yang dilakukan AH adalah memberikan bunga tinggi hingga 15 persen.

"Modus operandi yang dilakukan, dia menghimpun dana dengan iming-iming ke masyarakat dengan bunga 12-15 persen per tahun. Padahal normatifnya, sekitar 3-4 persen setahun," jelas Dwi.

Dengan adanya kasus ini, Polda Jateng mengimbau agar tidak mudah tertipu investasi yang mengiming-imingi bunga tinggi.

"Silahkan konsultasikan dulu ke pihak berwenang dan cek legalitasnya. Saat ini banyak tawaran investasi menggiurkan, namun sekali lagi masyarakat dihimbau untuk berhati-hati," tandasnya.

Sebelumnya, Jajaran Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jateng menangkap seorang pria yang melakukan tindakan pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai Rp16 miliar, dengan kerugian nasabah mencapai Rp267 miliar.

Potensi kerugian nasabah senilai Rp267 miliar karena ada 2.601 masyarakat dan nasabah yang menghimpun dana di KSP tersebut.

"Dari pengembangan, sejak 2015, warga yang himpun dana 2.601 orang. Ditkrimsus Polda Jateng bekerja sama dengan Kurator dan OJK memperkirakan terdapat potensi kerugian Rp267 M," kata Dirreskrimsus Kombes Dwi Subagio.

Tersangka menggunakan uang tersebut untuk membeli sejumlah kendaraan, aset tanah, hingga membeli saham. Setidaknya ada 12 sertifikat tanah yang sudah hak milik yang disita. Namun total nilai aset baru Rp8 miliar.

"Yang dari penyimpanan digunakan untuk menutupi kegiatan lain. Untuk beli aset tanah, ada 12 sertifikat. Yang jadi pertanyaan dari sekian banyak potensi kerugian, yang kami sita baru Rp8,5 M," tegasnya.

Saat ini kasus tersebut masih didalami dan tersangka dijerat Pasal 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Ancaman hukuman minimal 5 tahun maksimal 15 tahun penjara," tegas Dwi.