Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kesehatan memperkuat jejaring surveilans di seluruh daerah di Indonesia untuk mewaspadai potensi lonjakan kasus selama proses transisi menuju endemi COVID-19.

"Penguatan surveilans di Indonesia, mulai transisi dari case-based nation whole surveillance ke sentinel surveillance," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril dilansir ANTARA, Kamis, 6 Oktober.

Upaya tersebut berupa pengawasan berbasis kasus COVID-19 di seluruh negara di dunia yang dibandingkan dengan laju kasus di dalam negeri, sehingga muncul laporan situasi yang lebih akurat.

Penguatan surveilans lainnya adalah melakukan integrasi pengawasan kasus COVID-19 dengan metode surveilans ILI/SARI atau Severe Acute Respiratory Infection yang memuat informasi epidemiologi untuk dipantau oleh dinas kesehatan dalam mengendalikan laju kasus COVID-19.

"Kemenkes juga menguatkan Community Based Surveillance yang terintegrasi dengan Sistem Kewaspadaan Diri dan Respons (SKDR) di puskesmas dan sistem pengawasan kasus berdasarkan laporan rumah sakit," katanya.

Selain akan terintegrasi dengan SKDR, kata Syahril, tren kasus akan dipantau melalui surveilans SARI untuk kasus-kasus yang lebih berat.

"Environmental Surveillance (ES) juga akan menjadi salah satu sistem surveilans yang akan dikembangkan," katanya.

Berdasarkan analisa Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes terhadap laju kasus COVID-19 dalam dua pekan terakhir mengalami penurunan konsisten dari 2.298 menjadi 1.692 kasus.

Namun, masih ada lima provinsi dengan peningkatan kasus tertinggi secara nasional, di antaranya Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Kepulauan Bangka Belitung.

Menurut Syahril Indonesia saat ini sedang bersiap untuk menuju endemi berdasarkan parameter penilaian COVID-19 yang terus melandai. Meskipun demikian, kewaspadaan terhadap adanya kemungkinan mutasi virus tetap dilakukan.

"Indonesia mengadopsi enam strategi WHO menuju endemi mulai dari mensosialisasikan risiko kepada masyarakat bahwa pandemi COVID-19 masih ada dengan risikonya hingga melakukan

vaksinasi dosis 1, dosis 2 hingga booster dan memastikan sistem pelayanan kesehatan," katanya.