SBY Sebut Pilpres 2024 Akan Diatur, Hasto Kristiyanto: Kekhawatiran Berlebih Tanpa Fakta
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menyebutkan kekhawatiran kekhawatiran Susilo Bambang Yudhoyono soal pengaturan Capres dan Cawapres 2024 berlebihan. (Antara/

Bagikan:

JAKARTA - PDI Perjuangan (PDIP) menyebut Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya kekhawatiran berlebih tanpa didasari fakta.

Pernyataan ini disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menanggapi klaim SBY yang mendapat informasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan diatur. Ujungnya, kata SBY, hanya ada dua calon presiden dan wakil saja yang akan bisa masuk.

Adapun pernyataan SBY saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ini muncul di media sosial. SBY yang menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat menyebut, Capres dan Cawapres yang akan maju nanti adalah sosok yang dikehendaki oleh mereka.

Hanya saja, tak disebut siapa sosok mereka tersebut. SBY hanya mengatakan siap turun gunung untuk menghadapi Pemilu 2024.

"Apa yang disampaikan Pak SBY dengan menuduh tanpa fakta sepertinya pasangan diatur-atur kemudian dari Demokrat sebagai oposisi dibuat skenario yang tidak bisa mencalonkan (presiden, red), itu kan menunjukkan kekhawatiran yang berlebih tanpa fakta," kata Hasto dalam konferensi pers secara daring pada Minggu, 18 September.

Hasto menyebut, kalaupun hanya ada dua calon dalam kontestasi 2024 mendatang hal itu disebabkan karena adanya presidential threshold atau ambang batas. Pada sistem tersebut, siapapun yang akan maju butuh dukungan minimal dari 20 persen kursi di parlemen.

Sistem tersebut, sambung Hasto, juga digagas dan disepakati bersama dalam masa pemerintahan SBY.

"Sehingga kecurigaan yang berlebihan tidak kondusif dalam iklim politik nasional kita. Apalagi, disampaikan Bapak SBY dalam forum resmi Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat," tegasnya.

Hasto Kristiyanto mengingatkan pentingnya presidential threshold itu. Dia mengulas lagi bagaimana pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama, ketika dukungan di parlemen hanya mencapai ambang batas.

Saat itu, kata Hasto, pemerintahan Presiden Jokowi bak tsunami dalam demokrasi. Penyebabnya, suara rakyat yang mendukung eks Gubernur DKI Jakarta itu tak dibarengi dengan dukungan parlemen.

Hingga akhirnya, pemerintahan Jokowi bersama wakilnya, Jusuf Kalla saat itu harus melakukan konsolidasi politik di awal masa jabatannya.

"Kita memahami seorang ayah (ingin, red) mendorong anaknya, misalnya. Tapi, harus melihat mekanisme konstitusional yang ada," ujar Hasto.

"Bahwa ada ketentuan presidential threshold yang merupakan ketentuan sah secara konstitusi dan tidak boleh diganggu gugat. Karena sudah berulang kali dilakukan judicial review dan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan betapa pentingnya presidential thresold agar pemerintah berjalan efektif, memiliki basis yang kuat, dan stabilitas politik pemerintahan itu," pungkas Hasto Kristiyanto.