JAKARTA - Ketua DPP PDIP Puan Maharani diagendakan bertemu Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pada akhir pekan ini. Setelah bertemu dengan Airlangga, Puan juga dijadwalkan datang ke rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Hambalang.
Di sisi lain, Partai Golkar sudah menjalin kerjasama dengan PAN dan PPP dalam wadah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Sedangkan Gerindra sudah bermitra dengan PKB.
Lantas, apakah kedatangan PDIP ke Golkar dan Gerindra bisa menggoyahkan koalisi yang telah terbentuk?
Pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad, menilai kunjungan PDIP ke sejumlah partai tidak lantas mengubah peta koalisi saat ini. Sebab menurutnya, kecil kemungkinan PDIP akan bergabung ke KIB dalam waktu dekat.
Hal tersebut, kata Nyarwi, didasarkan pada sejumlah analisis. Pertama, jumlah perolehan suara KIB sudah mencukupi untuk mengajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) dari internal koalisi.
"Saya lihat peluang untuk dalam waktu dekat mereka berkoalisi itu kecil sekali. Karena hitung-hitungannya 3 partai itu secara parlementary threshold (PT) sudah punya tiket sendiri tanpa harus berkoalisi dengan PDIP," ujar Nyarwi di Jakarta, Jumat, 2 September.
Sebagaimana diketahui, ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden diatur dalam Pasal 122 UU 7/2017 tentang Pemilu. Partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang bisa mengajukan capres-cawapres, harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu.
BACA JUGA:
"Sedangkan KIB, sudah mengantongi 148 kursi dengan perincian Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi dan PPP 19 kursi. Dengan demikian, KIB sudah memenuhi syarat presidential threshold," jelas Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu.
Kedua, lanjutnya, meski belum mengumumkan secara resmi capres dan cawapres yang diusung pada Pilpres 2024, KIB tidak akan mempertimbangkan untuk mengusung Puan Maharani dalam Pilpres 2024. Hal itu, kata Nyarwi, dikarenakan elektabilitas dan popularitas Puan Maharani yang dinilai belum kuat di kalangan pemilih.
"Dua hal itu menjadikan alasan dalam waktu dekat tidak terjadi koalisi," kata Nyarwi.