Bagikan:

YOGYAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menduga, penggunaan kode hari ulang tahun dalam kasus dugaan suap perizinan apartemen bukan yang pertama dilakukan mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti.

"Ketika seorang penyelenggara negara meminta sesuatu kepada swasta dalam konteks momen pribadi seperti ulang tahun, itu biasanya bukan pemberian yang pertama dan logikanya mereka sudah memiliki satu hubungan yang dekat," kata Zaenur saat dihubungi di Yogyakarta, Antara, Minggu, 28 Agustus. 

Penggunaan kode hari ulang tahun sebelumnya terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU KPK saat sidang perdana kasus suap perizinan apartemen Royal Kedhaton di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Senin lalu dengan terdakwa Vice President Real Estate PT Summarecon Agung (SA) Tbk Oon Nusihono.

Pada 7 Februari 2019 Direktur PT Java Orient Properti Dandan Jaya Kartika menginformasikan kepada Haryadi rencana presentasi Oon terkait pembangunan apartemen Royal Kedhaton.

Melalui pesan WhatsApp, Haryadi memohon maaf kepada Dandan bahwa presentasi terkait apartemen itu belum bisa dilakukan pada pekan itu karena banyak urusan sembari memberikan informasi terkait hari ulang tahunnya.

"Oya Dimas Dandan, punten dalem sewu bilih mbenjang Sabtu 9 Februari, koncone njenengan sing jenenge HS milad ke-55 tahun' (Dimas Dandan besok Sabtu 9 Februari, teman Anda bernama HS milad ke-55 tahun)," kata Haryadi melalui WhatsApp seperti dibacakan JPU dalam surat dakwaan.

Keesokan harinya pada 8 Februari 2019, Dandan bersama Oon membahas hadiah ulang tahun yang akan diberikan kepada Haryadi yang akhirnya disepakati sebuah sepeda elektrik.

Setelah Dandan mendapat kiriman uang Rp85 juta dari Oon, pada 18 Februari Dandan bersama-sama dengan Haryadi Suyuti langsung pergi ke Toko Sepeda Jogja Bike Galery untuk membeli sepeda elektrik merek Specialized Levo berwarna carbon blue seharga Rp80.200.000.

Upaya Haryadi menginformsikan ihwal hari ulang tahunnya, menurut Zaenur, dapat dibaca sebagai bentuk permintaan secara halus dengan memakai bahasa implisit untuk memperkecil risiko kala ada penyadapan dari penegak hukum.

"Kode seperti itu adalah cara yang implisit, ada penghalusan bahasa yang menandakan satu permintaan. Kalau bukan dalam konteks meminta lantas dalam konteks apa pemberitahuan (ulang tahun) itu dilakukan," ujar dia.

Menurut Zaenur, penggunaan kode, isyarat, simbol-simbol, maupun istilah lain untuk menyamarkan banyak dijumpai dalam kasus suap maupun gratifikasi yang ditangani KPK.

Meski demikian, penggunaan kode terkait momen yang sangat personal seperti hari ulang tahun, menurut dia, menandakan bahwa antara penerima dan pemberi suap sudah memiliki hubungan yang dekat.

"Kalau konteksnya itu adalah ulang tahun, saya kok melihatnya dalam kasus-kasus yang lain, biasanya yang seperti itu bukan pemberian yang pertama," kata dia.

Berpijak dari kasus dugaan suap perizinan apartemen yang melibatkan mantan Wali Kota Yogyakarta itu, ia berharap KPK dapat menelusuri kasus perizinan lainnya di Yogyakarta.

"Ada banyak perizinan yang dikeluarkan Haryadi dan kepala daerah lainnya di DIY yang juga diduga banyak kejanggalan misalnya soal Amdal-nya, atau syarat lain sehingga itu seharusnya jadi pintu masuk," ujar Zaenur.

Dalam sidang perdana kasus itu, pemberian suap yang melibatkan Oon Nusihono, disebutkan JPU, terus berlanjut secara bertahap hingga IMB Apartemen Royal Kedhaton akhirnya terbit pada 23 Mei 2022.

Selain memberi sepeda elektrik, dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU, terdakwa Oon juga berperan memberikan suap berupa uang 20.450 dolar AS, Rp20 juta atau sekitar jumlah itu, satu unit mobil Volkswagen Scirocco 2.000 CC warna hitam tahun 2010 untuk Haryadi.

Selain kepada Haryadi, Oon didakwa memberikan uang sebesar 6.808 dolar AS kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP) Pemkot Yogyakarta Nurwidihartana dengan maksud agar penerbitan IMB Apartemen Royal Kedhaton dipercepat.