Bio Farma: Kemandirian Produksi Vaksin Dalam Negeri Perlu Kolaborasi
Ilustrasi - Pekerja memberikan label pada vaksin di laboratorium PT Bio Farma (Persero), Bandung, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/ws.

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Transformasi dan Digital Bio Farma Soleh Ayubi mengemukakan kolaborasi menjadi salah satu kunci penting untuk menyukseskan pengembangan vaksin dalam negeri.

"Dibutuhkan kolaborasi bukan hanya dari nasional, tetapi internasional dan butuh dukungan semua pihak baik dari pemerintah, regulasi, dan akademisi," kata Soleh Ayubi dalam Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan di Hotel Courtryard, Nusa Dua, Bali dilansir ANTARA, Rabu, 24 Agustus.

Dia mengatakan vaksin memiliki waktu pengembangan produk yang panjang dan investasi mahal. Contohnya, konsep laboratorium di Kendall Square yang menjadi pusat penelitian Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).

"Di sana, semua terkonsolidasi dengan baik perusahaan yang sudah bekerja sama untuk pengembangan produk, salah satunya Pfizer, GSK dan Moderna," katanya.

Dia berharap Indonesia memiliki konsep serupa dengan membangun perusahaan rintisan dan bekerja sama dengan berbagai universitas untuk percepatan farmasi dan alkes.

"Salah satunya Bio Saliva yang merupakan kerja sama Bio Farma dengan perusahaan rintisan Bioteknologi Nusantics," katanya.

Bio Saliva merupakan alat uji untuk mendeteksi COVID-19 dengan metode kumur (gargling). Metode ini jauh lebih nyaman untuk mendeteksi virus COVID-19 dalam tubuh pasien dengan atau tanpa gejala.

Proses pengembangan produk tersebut melibatkan lebih dari 400 sampel pasien positif COVID-19, baik pasien rawat jalan, maupun rawat inap dan riset validasi selama 7 bulan.

Uji validasi telah selesai dilakukan bersama-sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) dan Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK).

Soleh Ayubi mengatakan Bio Farma telah berinvestasi melalui Bio Health Fund sebanyak 20 hingga 100 juta Dolar AS untuk membiayai penelitian dan pengembangan beberapa perusahaan rintisan nasional maupun internasional di bidang kesehatan.

"Butuh dukungan industri farmasi untuk mendukung dan mempercepat pengembangan produk demi meningkatkan kemandirian sediaan farmasi dan alkes," katanya.