Bagikan:

JAKARTA - Perkembangan teknologi informasi membawa tantangan besar bagi tumbuh kembang anak Indonesia.

Maraknya kasus kekerasan termasuk kekerasan seksual pada anak-anak, tak dipungkiri karena pengaruh konten pornografi di media sosial.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan, dalam sambutannya pada acara Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema “Proteksi Dini: Cegah Bahaya Konten Negatif dan Kekerasan Digital pada Anak” di Surabaya, Kamis 28 Juli.

"Berbagai konten negatif, seperti konten pornografi maupun judi daring, berpotensi masuk ke kehidupan anak dan remaja karena tingginya aktivitas mereka di dunia maya,” jelasnya.

Menurutnya, dengan melihat tingginya aktivitas anak dan remaja di dunia maya, dibutuhkan komitmen dan kerja sama dari seluruh pihak untuk melindungi anak-anak Indonesia.

“Salah satu dampak konten negatif, seperti pornografi, yang signifikan adalah adiksi dan perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Ini berbahaya dan berdampak jangka panjang jika tidak ada penanganan dan komitmen yang serius dari berbagai pihak,” ujarnya.

“Dalam tiga tahun ini proteksi negara terkait konten pornografi melalui pembatasan kata kunci pornografi di dunia maya telah sedikit membantu proses pencegahan jika dibandingkan situasi di lima tahun lalu. Namun, konten-konten tersebut tidak lantas hilang begitu saja,” sambungnya.

Kondisi yang ada saat ini membawa tantangan tersendiri bagi orangtua dalam menghadapi penggunaan internet oleh anak.

Maka dari itu, ia berharap jika acara ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi kekerasan terhadap anak di dunia digital serta upaya pencegahannya.

Narasumber yang hadir mengisi materi pada acara tersebut antara lain, Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Kominfo, Josua Sitompul, Perencana Muda pada Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Fitra Andika Sugiyono, Psikolog Anak, Yessyca Diana Gabrielle, dan Figur Publik, Meisya Siregar.

Hadir secara online, Josua Sitompul menyatakan bahwa pelindungan terhadap anak di ruang siber perlu pendekatan multi-stakeholder dan multi-dimensional, serta pendekatan secara heuristic.

"Berbicara mengenai multi-stakeholder berarti kita tidak hanya mengundang pemerintah nasional tetapi juga pemerintah dari negara lain, pelaku usaha sebagai yang memberikan layanan, dan juga masyarakat serta akademisi. Kalau berbicara mengenai multi-dimensional, maka itu tidak hanya mengenai hukum, tetapi juga sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi," paparnya.

Sedangkan pendekatan heuristic didasarkan pada informasi, pengalaman, dan fakta-fakta yang telah dimiliki atau dikumpulkan, sebagai dasar untuk membuat kebijakan, mengambil pendekatan, dan membangun pola-pola di dalam pelindungan anak.

"Keparsialan dari apa yang kita punya itu bisa digunakan sebagai alat metode untuk memberikan pelindungan. Meskipun kita tidak membuat satu kebijakan secara komprehensif pada saat ini, kita punya tujuan yaitu membangun sistem pelindungan anak secara progresif,” ujarnya.

Ia juga berpendapat jika pendekatan yang sifatnya heuristic bisa lebih realistis dan juga reasonable di dalam memberikan pelindungan bagi anak terhadap kekerasan dan juga kemungkinan dampak negatif atau buruk dari internet.

Pada sesi selanjutnya, Fitra Andika Sugiyono sebagai Perencana Muda Kemen PPPA mengungkapkan bahwa sesuai dengan Konvensi Hak Anak di Pasal 17 tentang Hak Anak atas Informasi yang Layak, tiap anak dapat mengakses informasi dan materi dari berbagai sumber, salah satunya dari ranah daring.

“Informasi layak anak ini penting karena untuk membangun kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial anak,” jelasnya.

Hal ini, menurutnya, sudah menjadi tugas negara, salah satunya adalah dengan menjamin bahwa anak dapat mengakses informasi dari sumber yang beragam dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, spiritual, moral, serta kesehatan fisik dan mental anak.

Ia juga mengatakan jika Kementerian PPA telah bekerja sama dengan ECPAT Indonesia dan Facebook Indonesia dalam membentuk program pemberdayaan anak dan orang muda untuk menjadi pendidik sebaya dalam mempromosikan literasi digital dan keselamatan anak di ranah daring atau online.

Pada kesempatan yang sama, Psikolog Anak, Yessyca Diana Gabrielle, mengungkapkan jika melihat kondisi sekarang terdapat enam kondisi darurat pada anak, yaitu darurat kekerasan anak, darurat pedofil atau kekerasan seksual, darurat pornografi, darurat narkoba, darurat kebangsaan dan intoleransi, dan darurat pernikahan anak.

Di era konten seperti saat ini menurutnya dapat memberikan dampak yang tidak baik. Paparan konten negatif yang secara terus menerus akan mendekam dalam memori dan dapat mempengaruhi serta mengacaukan mindset, bukan hanya terhadap anak tetapi juga kepada yang sudah dewasa.

"Ini bisa menggeser cara kerja pikiran, yang awalnya menurut kita itu adalah tabu, jelek, negatif, bergeser menjadi sesuatu yang biasa bahkan menyenangkan. Yang terjadi adalah pikiran ini secara perlahan akan menginterpretasi yang aneh, ganjil, tidak lazim dan menyimpang itu menjadi sesuatu yang wajar, boleh dilakukan, dan mengasyikan," jelasnya.

Menurut dia, yang membuat penikmat dan pembuat konten tenggelam dalam sensasi tersebut, dan terus mencari, maupun membuat ide baru yang lebih aneh serta ganjil.

Konten yang seperti ini akhirnya akan menjadi racun dan merusak mental sehat manusia.

Sementara itu, Meisya Siregar selaku Public Figure mengatakan, jika dampak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam tumbuh kembang anak menjadi tantangan yang sampai saat ini belum bisa dikendalikan 100 persen.

Sebagai orangtua, ia mengungkapkan bahwa hal ini menjadi persoalan penting betapa kehadiran sosial media dan internet membuat anak-anak memiliki dua kemungkinan yang dapat terjadi.

Di satu sisi bisa membuat anak menjadi pintar, cerdas, dan kreatif, atau bisa jadi sebaliknya.

“Menurutku, internet dan penggunaan gadget ini seperti dua sisi mata pisau yang memang bisa jadi benefit atau justru jadi jahat. Dampaknya bisa fatal kalau kita sebagai orang tua tidak bisa memonitor, membuat kesepakatan, mengarahkan, atau membuat komitmen bersama anak-anak,” ujarnya.

Acara Firtual ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang potensi kekerasan terhadap anak di dunia maya, serta mendorong partisipasi masyarakat untuk melakukan pelindungan dan pencegahan terhadap potensi kekerasan anak di dunia maya.

Selain pembekalan materi, acara juga dimeriahkan oleh games berhadiah yang dapat diikuti seluruh peserta.

Diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) di Vasa Hotel Surabaya, serta dapat disaksikan secara live melalui aplikasi Zoom Meeting dan kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.