Bagikan:

JAKARTA - Indonesia resmi masuk jurang resesi setelah dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi. Pada kuartal II ekonomi minus 5,32 persen, sedangkan pada kuartal III terkontraksi 3,49 persen. Meski begitu, Bank Indonesia justru melihat rupiah berpotensi terus menguat.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, perkembangan nilai tukar rupiah mulai bergerak stabil, bahkan cenderung menguat signifikan 17,8 persen hingga 9 November 2020. Setelah sebelumya, rupiah sempat tertekan hingga mencapai level Rp16.575 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 23 Maret.

"Sekarang nilai tukar rupiah diperdagangkan sekitar Rp14.100. Kami melihat nilai tukar rupiah masih berpotensi untuk menguat," katanya, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis, 12 November.

Perry mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari berbagai kebijakan stabilisasi nilai tukar yang terus dilakukan BI. Penguatan rupiah juga dipengaruhi oleh stabilitas politik yang terjadi di AS setelah pemilu berlangsung pada November 2020.

Selain itu, kata dia jika melihat kondisi perekonomian Indonesia, nilai tukar rupiah tersebut masih jauh di bawah nilai fundamentalnya. Kerena itu, ia meyakini rupiah masih akan bisa menguat.

Sebagai contoh, kata Perry, dari sisi inflasi hingga Oktober masih cukup rendah di level 1,44 persen. Sementara neraca berjalan (CAD) juga masih rendah hingga kuartal II tahun ini yaitu di kisaran 2,9 miliar dolar AS.

Kemudian, daya tarik aset keuangan domestik pun dinilai tinggi dan premi risiko cenderung menurun. Perry berujar, pihaknya akan perkuat kebiajakan stabilitas nilai tukar rupiah agar mendukung pemulihan ekonomi Indonesia.

"Kami melihat nilai tukar rupiah masih berpotensi untuk menguat melihat level sekarang secara fundamental masih undervalued," tuturnya.

Tak hanya itu, Perry juga melihat beberapa indikator risiko di pasar keuangan mulai mereda, seperti Credit Default Swap (CDS) yang di posisi 73 dan VIX Index di posisi 26 meskipun ketidakpastian pasar keuangan masih tinggi.

"Di pasar keuangan global juga ketidakpastian mulai turun meski tetap tinggi karena faktor geopolitik dan second wave pandemi COVID. VIX dan CDS turun terutama di bulan-bulan November setelah pemilu di AS," jelasnya.