Bagikan:

JAKARTA - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengklaim telah memberikan kontribusi positif kepada negara sebesar Rp66,66 triliun atas tugas mereka dalam mengawasi keuangan negara dan daerah selama Semester I 2022.

"Hasil pengawasan BPKP dalam kurun waktu 6 bulan (Januari-Juni) 2022 telah dilaporkan kepada Presiden bahwa BPKP berhasil berkontribusi positif terhadap keuangan negara senilai Rp66,66 triliun," kata Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh dalam keterangannya, dikutip dari Antara, Kamis 21 Juli.

Pada Semester I, kata dia, pihaknya telah melaksanakan sebanyak 2.203 program kerja pengawasan melalui tiga aspek yakni, penghematan pengeluaran, penyelamatan keuangan negara, serta optimalisasi penerimaan.

Ateh menyebutkan jumlah kontribusi positif pengawasan terdiri atas penghematan pengeluaran keuangan negara Rp49,40 triliun, penyelamatan keuangan negara Rp14,02 triliun, dan optimalisasi penerimaan negara Rp3,24 triliun.

Capaian besar tersebut, kata dia, merupakan akumulasi hasil pengawasan BPKP pada berbagai isu strategis pembangunan, seperti tata kelola industri batu bara dan minyak sawit, penyelesaian proyek infrastruktur strategis, penyaluran bantuan sosial, pengadaan dan percepatan vaksinasi, hingga penyelenggaraan pendidikan.

Menurut Ateh, capaian positif BPKP tersebut akan terus dilanjutkan pada Semester II 2022. Selain itu, BPKP juga memastikan efisiensi dan efektivitas belanja melalui evaluasi perencanaan dan penganggaran pemerintah.

Ia mengungkapkan, fokus pengawasan BPKP pada Semester II adalah menuntaskan pengawasan strategis, sesuai dengan permintaan Presiden maupun pemangku kepentingan utama lainnya, serta menyelesaikan agenda prioritas pengawasan pada tahun 2022 dengan efektif.

Ateh menegaskan bahwa BPKP secara intensif mengawal akuntabilitas dan efektivitas tata kelola program pemerintah.

Hal itu, kata dia, guna memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan perekonomian global yang makin volatil dan belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19.

Selain itu, lanjut dia, ketidakpastian ekonomi yang dipicu oleh perang di negara lain, ancaman krisis komoditas, ancaman krisis energi, serta lonjakan inflasi.