Prevalensi Stunting Indonesia Masih 24,4 Persen pada 2021, Peneliti Berharap RUU KIA Disahkan
Suasana pengukuran kesehatan anak mencegah stunting di posyandu Desa Pagomogo, Nagekeo, NTT, Jumat 6 Mei. (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Lembaga penelitian The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mendorong optimalisasi penanganan stunting menjelang peringatan Hari Anak Nasional.

"Berbagai faktor yang perlu dioptimalkan untuk mengakhiri stunting diantaranya yakni memperkuat ketahanan pangan rumah tangga, kualitas layanan kesehatan, lingkungan yang ramah bagi perempuan serta pola asuh yang berkualitas dan berperspektif gender," kata Peneliti Bidang Sosial TII, Nisaaul Muthiah saat dihubungi, Rabu 20 Juli.

Angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 masih 24,4 persen. Nisaaul bilang, kondisi tersebut masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs).

Menurut Nisaaul, upaya mengatasi kejadian stunting sangat penting bagi perkembangan anak dan pembangunan bangsa sebab stunting merupakan ancaman besar bagi perkembangan kualitas SDM.

Dia mengatakan, ketahanan pangan rumah tangga sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi sejak masa kehamilan.

Selain itu, lingkungan yang ramah bagi perempuan diperlukan untuk mendukung ibu dalam memberikan air susu ibu (ASI) ekslusif hingga bayi berusia enam bulan.

Berdasarkan laporan Antara, ASI eksklusif sangat penting untuk mencegah stunting. Namun, kata dia, belum semua tempat kerja menyediakan tempat menyusui bagi ibu sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

"Kesadaran berbagai pihak dalam penghapusan stunting sangat diperlukan, termasuk sektor privat dan pemerintah untuk mempertegas berbagai aturan pencegahan stunting yang sudah ada," katanya.

Selain itu, kita juga perlu mendorong dan mengawasi pengesahan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). "Untuk memperkuat upaya pencegahan dan penghapusan stunting di Indonesia," pungkasnya.