Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serikat (AS) resmi keluar dari Perjanjian Paris. Hal tersebut terealisasi di tengah ketidakpastian hasil pemilu.

Langkah itu memenuhi janji bertahun-tahun Presiden Donald Trump untuk menarik AS dari pakta global memerangi perubahan iklim. Posisi AS dalam komitmen ini sangat penting.

AS merupakan negara penghasil gas rumah kaca terbesar kedua di dunia. Kini, perubahan yang mungkin terjadi dari hasil Pemilu AS adalah seberapa lama Paman Sam keluar dari pakta global tersebut.

Saingan Trump, Joe Biden sebelumnya berjanji akan bergabung kembali dengan perjanjian penanganan perubahan iklin itu jika ia terpilih.

"Penarikan AS akan meninggalkan celah dalam rezim kami dan upaya global untuk mencapai tujuan dan ambisi Perjanjian Paris," kata Patricia Espinosa, Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), dikutip Reuters, Rabu, 4 November.

Meski begitu, AS masih tetap menjadi anggota UNFCCC. Espinosa mengatakan badan tersebut akan "siap membantu AS dalam upaya apa pun untuk bergabung kembali dengan Perjanjian Paris."

Niat Trump

Trump pertama kali mengumumkan niatnya untuk menarik AS dari pakta perubahan iklim tersebut pada Juni 2017. Alasannya, perjanjian tersebut justru merusak ekonomi AS.

Namun Trump tak dapat melakukannya secara resmi sampai sekarang karena sejumlah persyaratan yang harus dicapai dari kesepakatan itu. Pengunduran diri tersebut menjadikan AS satu-satunya negara dari 197 negara penandatangan yang telah menarik diri dari perjanjian perubahan iklim.

Perjanjian itu sendiri telah berlangsung sejak 2015. Sebelumnya, Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Obama telah berjanji mengurangi emisi karbon AS hingga 26-28 persen pada 2025 dari tingkat emisi pada 2005. Janji Obama termaktub dalam perjanjian tersebut.

Biden secara luas diharapkan mampu merealisasikan langkah pemangkasan emisi AS tersebut jika terpilih. Biden telah berjanji untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, di bawah rencana senilai 2 triliun dolar AS untuk mengubah ekonomi.

Kelompok Rhodium mengatakan bahwa emisi karbon AS pada 2020 akan berada di sekitar 21 persen, di bawah level emisi pada 2005.

Kelompok itu juga menyebut bahwa di bawah pemerintahan Trump periode kedua --jika ia terpilih kembali, tingkat emisi AS diperkirakan akan meningkat lebih dari 30 persen hingga 2035 dari tingkat emisi pada 2019.

Sebagian besar ilmuwan percaya dunia harus mengurangi emisi secara tajam dan cepat untuk menghindari efek paling dahsyat dari pemanasan global. China, Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa baru-baru ini meningkatkan target pengurangan emisi karbon mereka.