Bagikan:

JAKARTA - Aktivis HAM sekaligus Direktur Lokataru Haris Azhar menyinggung aturan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam draft Revisi KUHP yang diserahkan pemerintah ke Komisi III DPR kemarin.

Adapun aturan itu tercantum dalam Pasal 217 dan Pasal 218. Dalam Pasal 217 mengatur ketentuan pidana maksimal 5 tahun mengikat orang yang menyerang Presiden atau Wakil Presiden.

Sedangkan Pasal 218 mengatur ancaman pidana maksimal tiga tahun enam bulan penjara kepada orang yang melakukan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

"Ini kenapa presiden dijadikan setengah Dewa, itu kan jabatan publik!" tegas Haris dalam kanal YouTube Refly Harun, Kamis 7 Juli.

Haris menjelaskan, berpendapat dan berekspresi merupakan kebutuhan manusia sejak lahir sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.

Entah itu sifatnya gradual, dikonstruksikan atau membutuhkan ruang, Haris menegaskan berpendapat dan berekspresi terikat dalam Hak Asasi Manusia atau HAM yang dilindungi UU.

Namun, kebebasan berpendapat dan berekspresi itu tentunya akan makin terancam aturan kehormatan dan martabat kepala negara dan wakilnya, yang terdapat dalam draft Revisi KUHP.

Padahal di satu sisi, kata dia, belum lepas dalam ingatan, banyak kasus pengekangan kebebasan berpendapat muncul akibat pasal-pasal karet UU ITE yang saat ini belum terselesaikan.

"Kan sekarang banyak nih, kalau sekarang, mohon maaf nih agak sedikit hukum. Kalau dalam penegakan hukum menggunakan UU ITE disebutnya delik formil, engga dibuktikan," ujarnya.

Haris lantas mengkritisi UU ITE yang dinilainya perlu pembuktian lebih lanjut ketika seseorang atau suatu kelompok dituduh bersalah dalam berpendapat maupun berekspresi di muka umum.

Namun dalam banyak kasus terjerat UU ITE, kata Haris, kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan masih belum bisa dibuktikan secara konkret.

"Dianggap sudah melakukan, tapi tidak menimbulkan kerugian, tidak terbukti ada kerusakan, langsung dipidana," ujar Haris.

"Mana nya yang salah. Diuji apanya yang merugikan, dan di saat seperti apa negara harus turut serta," sambungnya.

Berkaca kepada kasus yang bersumber dari pasal karet UU ITE, Pasal 217 dan Pasal 218 draft Revisi KUHP bisa juga senada. Haris pun menilai kasus menggunakan UU ITE tidak dijadikan pembelajaran pemerintah dan DPR selaku mitra dan pembuat UU. 

"Dan akhirnya kita sekarang engga tahu pembelajaran tentang pembatasan dari ekspresi tersebut. Yang muncul adalah, instrumen untuk merepresi kelompok-kelompok yang tidak disuka," tandasnya.