Bagikan:

JAKARTA - Koalisi advokat yang mewakili Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melayangkan somasi dan surat keberatan kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Koalisi advokat menuntut dicabutnya Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik.

Koordinator Koalisi Advokat, Muhammad Luthfie Hakim mengatakan ada tiga poin keberatan yang tercatat pada surat tersebut.

Pertama, perihal pemilihan waktu dalam penerbitan aturan tersebut. Menurut dia, dalam kondisi pandemi COVID-19, tidak diperlukan menerbitkan Permenkes Nomor 24 tahun 2020.

Alasannya, saat ini kerja sama antar dokter spesialis sangat dibutuhkan. Karena itu, penanganan COVID-19 bisa diatasi dengan baik.

Namun, dengan adanya penerbitaan aturan itu yang mengutamakan dokter spesialis radiologi dan mengesampingkan dokter spesialis lainnya hanya akan berdampak buruk.

"(Menyampingkan) dokter lain baik dokter umum pada Pelayanan Radiologi Klinik dalam pemanfaatan peralatan dengan modalitas radiasi pengion dan non pengion, dapat dipastikan akan menciptakan suasana tidak nyaman dan melemahnya kerja sama antar dokter yang pada akhirnya akan mengganggu kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas," ujar Luthfie dalam keterangannya, Selasa 3 November.

Sementara fakta yang ditemukan di lapangan, beberapa rumah sakit mulai mengalami suasana ketidakpastian. Sebab, ada gangguan soal kewenangan klinis dalam menjalankan pelayanan radiologi antar dokter spesialis radiologi dengan dokter gigi umum dan spesialis lainnya.

Penerbitan aturan juga dianggap tidak tepat karena dalam proses pembuatannya tak melibatkan organisasi lainnya. 

"Organisasi profesi dan Kolegium selaku Pemangku Kepentingan menerangkan tidak dilibatkan dan diajak rapat dalam penyusunan hingga diterbitkannya PMK 24/2020," ungkap dia.

"Bahwa dengan kata lain PMK 24/2020 dipandang mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan hubungan baik antar dokter," sambungnya.

Kedua, dalam surat keberatan itu juga disorot landasan moral dalam aturan tersebut. Padahal Menteri Kesehatan merupakan dokter spesialis radiologi memiliki tugas untuk melayani masyarakat dan vested interest tapi dengan penerbitan aturan itu justru dinilai lebih mengutamakan sesama spesialis radiologi.

"Sehingga landasan moral yang merupakan salah satu prinsip regulatif menjadi patut dipertanyakan," kata dia.

Tak melibatkan pihak lain dalam penyusunan aturan itu dianggap semakin menguatkan lemahnya landasan moral PMK 24/2020. Bahkan memunculkan isu abuse of power Menteri Kesehatan dalam menjalankan jabatannya.

"Suatu peraturan perundang-undangan juga haruslah memiliki landasan etika yang mencerminkan asas-asas antara lain pengayoman, kekeluargaan, keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, dan keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yang itu semua dinilai tidak diindahkan atau diabaikan," papar dia.

Poin terakhir soal campur tangan Menteri Kesehatan dalam urusan kompetensi pada pelaksanaan praktik kedokteran yang menggunakan peralatan dengan modalitas radiasi pengion dan non pengion dianggap bertentangan diametral dengan pengaturan pemberian kompetensi.

"Penyusunan standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi, dan penyusunan standar pendidikan profesi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis (sebagai dasar pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi)," ujar dia.

Kemudian, soal pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kedokteran serta kedokteran gigi. Pemberian sertifikat kompetensi kepada dokter dan dokter gigi, dan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis sebagai dasar pemberian Surat Tanda Registrasi atau STR.

"Pemberian STR (sebagai dasar pelaksanaan praktik kedokteran di Indonesia), dan pelaksanaan praktik kedokteran yang harus sesuai dengan kompetensi yang terdapat dalam STR," kata dia.