Jakarta – Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko menerima kedatangan pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), di gedung Bina Graha Jakarta, Selasa 5 Juli. Dalam pertemuan tersebut, Apjati mengungkapkan berbagai persoalan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pasca pandemi COVID19.
Ketua Umum DPP Apjati Ayub Basalamah mengatakan, seiring dengan melandainya pandemi, beberapa negara sudah membuka kembali peluang untuk penempatan Pekerja Migran Indonesia. Seperti, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Hanya saja, kata dia, sampai saat ini penempatan PMI ke beberapa negara tujuan belum bisa dilakukan karena terkendala sejumlah persoalan.
Ia mencontohkan, penempatan PMI ke Taiwan karena belum terbitnya biaya struktur atau cost structur dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
“Ada 30 ribu PMI dengan tujuan penempatan Taiwan mengantre di Sisko P2MI (Sistem Komputerisasi Perlindungan Pekerja Migran Indoensia). Penempatan belum bisa dilakukan karena Kemenaker dan BP2MI belum terbitkan cost structure,” kata Ayub.
Sebagai informasi, biaya struktur atau cost structure merupakan keseluruhan biaya bagi seseorang dalam rangka bekerja di luar negeri. Diantaranya mencakup biaya pelatihan, persyaratan awal, dan biaya jati diri, seperti pengurusan paspor. Penetapan biaya struktur merupakan.
BACA JUGA:
Di dalam negeri, biaya struktur menjadi acuan total biaya yang dibebankan kepada pencari kerja, dalam hal ini PMI. Sementara bagi negara tujuan penempatan, biaya tersebut digunakan sebagai acuan biaya perekurtan pekerja asal Indonesia. Dalam implementasinya, penetapan biaya struktur dilakukan atas dasar kesepakatan antara negara asal pekerja dengan negara yang menjadi tujuan penempatan.
“Belum keluarnya cost structure ini, membuat Taiwan juga belum bisa menerima PMI,” terang Ayub.
Pada kesempatan itu, Ayub juga membeberkan, bahwa penempatan PMI ke Taiwan yang sudah berjalan merupakan program 2020 atau sebelum terjadi pandemi COVID19, dengan total 86 ribu PMI. Sementara untuk penempatan baru, ujar dia, sampai saat ini masih belum ada. “Kondisinya stuck bapak. Untuk itu kami datang ke sini (KSP) agar persoalan ini bisa selesai,” ucapnya.
Selain persoalan penempatan PM, Ayub juga menyampaikan tentang pentingnya penegakan hukum terhadap praktik-praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia Non Presedural. Sebab, Apjati menemukan, jumlah penempatan PMI Non Prosedural sangat besar, terutama ke negara-negara di Timur Tengah. “Satu bulan bisa lima sampai tujuh ribu,” jelas Ayub.
Menanggapi hal itu, Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko menegaskan, akan segera mengoordinasikan persoalan biaya struktur untuk penempatan PMI dengan Kemnaker, BP2MI, dan pihak asosasi penempatan. Termasuk, persolan PMI Non Presedural.
“Penempatan PMI salah satu sektor unggulan untuk perekonomian Indonesia, dengan pencapaian devisa. Kita harus bisa mengambil peluang ini,” tegas Moeldoko.
“Sumbangan devisa negara dari PMI sangat besar. 2021 saja mencapai 130 triliun rupiah,” imbuhnya.