CSIS: Konsistensi Penting Saat Indonesia Ambil Peran Jembatani Komunikasi Rusia dan Ukraina
Presiden Jokowi bersama Presiden Putin di Kremlin, Moskow. (Sumber: Kremlin.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat hubungan internasional Andrew Mantong dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan konsistensi menjadi hal penting jika Indonesia ingin berperan dalam menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina.

Menurut Andrew, misi perdamaian ini bukan hanya sekali saja, melainkan perlu secara berkesinambungan.

"Poinnya tidak hanya menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina, tetapi juga menjembatani komunikasi dengan negara-negara lainnya, khususnya negara G7," katanya dikutip ANTARA, Jumat, 1 Juli.

Ia menyebutkan beberapa negara Uni Eropa yang menjadi anggota G7, seperti Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia sebetulnya memiliki peran penting sehingga harus membuka komunikasi di antara mereka.

Forum G20 sendiri juga bisa menjadi semacam forum yang nantinya berpeluang memiliki agenda side events atau semacam pertemuan informal bagi pihak-pihak yang berpartisipasi untuk membahas perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Menurut Andrew, setiap forum internasional resmi seperti G20 memiliki side events untuk membahas agenda tertentu. Hal ini merupakan salah satu kesempatan yang dapat dimanfaatkan.

Namun, untuk menjadi komunikator atau pihak yang menjembatani komunikasi antara pihak-pihak yang berseteru, memiliki tantangan tersendiri.

"Tantangan untuk saat ini adalah karakter Presiden Rusia Vladimir Putin, kemudian perlu pula mengidentifikasi siapa tokoh di Rusia yang suaranya dianggap penting oleh Presiden Putin agar persepsinya bisa berubah," kata Andrew.

Secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana menilai positif tawaran Indonesia untuk menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina.

Namun, hal ini akan sulit untuk direalisasikan karena posisi Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang masih menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan.

"Tentunya Presiden Jokowi tidak bisa secara intens untuk melakukan hal tersebut," kata Hikmahanto.

Kemungkinan menurutnya, Presiden Jokowi bisa saja memunculkan sebuah nama dari Indonesia yang dapat menjadi komunikator antara Rusia dan Ukraina.

Selain itu, belum diketahui apakah Rusia dan Ukraina mau menyetujui Indonesia sebagai pihak yang menjembatani komunikasi.