JAKARTA - Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan untuk membangun budaya hak asasi manusia (HAM) dalam masyarakat, diperlukan pencegahan penyiksaan.
"Penyiksaan yang selama ini dianggap wajar sebagai bagian dari hukuman yang dilakukan pejabat negara adalah hal yang wajib dihindari," kata Mariana Amiruddin dalam webinar bertajuk "Penyiksaan Seksual Tindak Pidana dalam UU TPKS" yang diikuti di Jakarta, Senin 27 Juni.
Karena itu, menurut dia, negara perlu membentuk mekanisme perlindungan. Sejauh ini pihaknya melihat kurangnya mekanisme memadai untuk melindungi dugaan penyiksaan dan masih adanya impunitas pelaku terkait pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan.
Selain itu, menurut dia, perlu diciptakan kerangka pencegahan penyiksaan yang efektif untuk memastikan setiap orang memiliki hak atas integritas dirinya di Indonesia.
Ia mencontohkan penyiksaan seksual yang terjadi dalam tahanan, yakni tahanan perempuan tidak dipertemukan dengan anaknya untuk menyusui sebagai bagian dari hukuman.
Kemudian, adanya tahanan perempuan tidak mendapatkan bantuan medis dalam kesehatan reproduksi, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan pengasuhan.
BACA JUGA:
"Meskipun tidak dalam bentuk penghukuman, tetapi ketiadaan fasilitas untuk hak maternitas perempuan ini juga disebut sebagai penyiksaan," katanya.
Mariana mengatakan bahwa tidak hanya perempuan, laki-laki juga ada yang mengalami penyiksaan seksual, di antaranya ketika seseorang dipaksa mengaku oleh aparat dengan cara melecehkan, baik secara fisik maupun nonfisik.
Contoh lainnya, kekerasan seksual di dalam tahanan laki-laki yang dilakukan antarsesama tahanan dan diketahui serta dibiarkan oleh petugas tahanan.