Tidak Main-iain, DPR Atur Kewajiban Fasilitas Umum Hingga Tempat Kerja Siapkan <i>Daycare</i> di RUU KIA
Anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah. ANTARA/HO

Bagikan:

JAKARTA - Badan Legislasi DPR menjadwalkan Rancangan undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) dibawa ke Rapat Paripurna pada 30 Juni mendatang untuk disahkan sebagai RUU insiatif DPR. 

RUU KIA akan dilanjutkan pada pembahasan tingkat I usai adanya respons dari pemerintah melalui surat presiden (Surpres) dan pemberian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Luluk Nur Hamidah, menyatakan DPR tidak main-main dalam pembuatan RUU KIA. Pasalnya, RUU ini mengatur kewajiban tempat bekerja untuk menyediakan fasilitas daycare atau tempat penitipan anak.

“Keberpihakan negara terhadap pelayanan pada pemenuhan hak bagi ibu dan anak nggak main-main melalui RUU KIA ini. Karena kita mengatur mulai hulu hingga hilir,” ujar Luluk kepada wartawan, Senin, 27 Juni. 

Luluk menjelaskan, salah satu tujuan dari RUU KIA adalah untuk memastikan kepentingan tumbuh kembang anak, khususnya di 1.000 hari pertama kehidupan anak.

Menurutnya, upaya agar kepentingan tersebut dapat terpenuhi adalah dengan menyediakan fasilitas dan sarana prasarana, baik di ruang publik maupun di tempat kerja.

“Fasilitas sarana dan prasana (sarpras) yang harus disediakan seperti tersedianya daycare, ruang bermain, dan ruang Laktasi yang wajib dipenuhi oleh pihak manapun, khususnya pengelola sarpras umum ataupun di tempat kerja,” jelasnya.

Aturan mengenai kewajiban penyediaan daycare, ruang bermain, hingga ruang Laktasi tertuang dalam draft RUU KIA Bab 3 Pasal 22 dan Pasal 23. Pada Pasal 22 disebutkan bahwa penyedia atau pengelola fasilitas dan sarana prasarana umum harus memberikan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak.

Pemberian kemudahan dalam penggunaan fasilitas dan sarana prasarana umum bagi ibu dan anak tersebut meliputi dukungan fasilitas di tempat kerja, tempat umum, dan alat transportasi umum. Dukungan fasilitas yang dimaksud ada dalam Pasal 22 Ayat (3) RUU KIA berupa penyediaan ruang Laktasi, penyediaan ruang perawatan anak, tempat penitipan anak, hingga tempat bermain anak.

“Sementara di Pasal 22 Ayat (4) RUU KIA diatur bahwa dukungan fasilitas dan sarpras di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diberikan kepada ibu yang bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja,” papar Luluk.

Anggota Komisi IV DPR ini juga menegaskan, penyedia atau pengelola fasilitas serta sarpras umum yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 akan diberikan pembinaan dan/atau sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk bagi perkantoran.

“Daycare di tempat kerja tidak dapat kita anggap perkara sederhana jika paham manfaatnya. Daycare ini sekaligus menjamin ibu atau orangtua tetap dapat bekerja secara produktif, tenang, nyaman, bahkan memberikan ASI lebih dari 6 bulan,” terang Luluk.

“Dan yang pasti, kebutuhan atau hak anak juga tetap dapat terpenuhi. Terutama dalam hal pemantauan perkembangan, dan juga kesehatan mental anak di masa yang akan datang,” imbuhnya.

RUU KIA juga menyoroti soal pentingnya memberikan penguatan perlakuan istimewa pada 1.000 hari pertama kehidupan anak yang sejalan dengan berbagai hasil kajian ilmiah. Menurut Luluk, persoalan tumbuh kembang anak harus menjadi perhatian bersama, terutama melalui kebijakan-kebijakan.

“Menurut London Journal of Primary Care, membangun ikatan kuat dengan anak pada dua tahun pertama dalam hidupnya sangatlah krusial dan akan menentukan masa-masa penting kehidupan berikut hingga dewasa kelak. Investasi terbaik bagi keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia adalah generasi unggul, sehat cerdas dan produktif,” ungkap Luluk.

Anggota Fraksi PKB DPR itu menilai, negara harus dapat memastikan agar ibu punya kesempatan terbaik dalam memberikan ASI sekaligus memantau perkembangan mental, fisik, psikis, dan sosial anak di usia awal. Mengingat hal itu penting untuk menentukan keberhasilan tumbuh kembang anak.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan inisiasi penambahan cuti melahirkan bagi ibu pekerja dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Selain itu, kata Luluk, dengan penyediaan fasilitas dan sarpras seperti ruang laktasi hingga daycare di tempat kerja.

“Negara harus menjamin bahwa kebijakan ini harus diambil jika tidak ingin rugi di masa-masa mendatang,” katanya.

Disisi lain, tambah Luluk, Fraksi PKB menilai kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia saat ini belum memadai. Hal ini dapat dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang masih sangat tinggi yaitu sebanyak 305 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) AKI tahun 2015.

Luluk menuturkan, hasil SUPAS tersebut menjadikan Indonesia ke dalam negara dengan AKI tertinggi di negara kawasan Asia Tenggara. PKB juga menilai diperlukan layanan preventif dan penanganan tepat untuk mengatasi angka stunting di Indonesia yang masih cukup tinggi.

“Untuk menekan masalah stunting di Indonesia, RUU KIA dapat menjadi pedoman dalam mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak sejak ibu memasuki masa persiapan sebelum kehamilan, masa kehamilan, saat melahirkan dan pasca-melahirkan sampai dengan anak mencapai usia tertentu,” ucap Luluk.

Dalam pembahasan RUU KIa ini, Luluk memastikan DPR bersama pemerintah akan mendengarkan aspirasi seluruh stakeholder, termasuk dari pihak perusahaan selalu pemberi kerja, selama proses pembahasan itu.

“Kita berharap semua bisa berjalan dengan smooth. Secara pribadi saya mendorong pihak-pihak terkait untuk dapat memprioritaskan kepentingan tumbuh kembang anak karena ini menyangkut masa depan generasi penerus yang kita harapkan dapat menjadi SDM unggul demi kemajuan bangsa,” demikian Luluk.