JAKARTA - Kelompok buruh yang dipimpin oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal akan menggugat revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 27 Juni. Iqbal menuturkan, uji materi formil dan materiil UU PPP yang diajukan oleh KSPI dan sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Partai Buruh akan didaftarkan pukul 14.00 WIB esok hari.
"Kurang lebih 150 orang buruh akan ikut mengantar kuasa hukum mendaftarkan (UU PPP) ke Mahkamah Konstitusi," kata Iqbal dalam keterangannya, Minggu, 26 Juni.
Iqbal menuturkan pihaknya menolak revisi UU PPP lantaran dinilai hanya 'akal-akalan' membenarkan Omnibus Law sebagai metode membentuk undang-undang.
"Dalam pengujian materiil, kita tidak menolak metode Omnibus. Tetapi meminta agar metode itu hanya boleh digunakan untuk penggabungan berbagai materi muatan ke dalam sebuah undang-undang, sepanjang materi muatan yang digabungkan itu mempunyai kesamaan subjek," ujar Iqbal.
Melanjutkan, kuasa hukum Partai Buruh untuk pengujian UU PPP di MK, Said Salahudin mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi alasan Partai Buruh merasa berkepentingan untuk melakukan pengujian terhadap UU Nomor 13 Tahun 2022 tersebut.
Said menilai ada kerugian konstitusional dalam revisi UU PPP. Undang-Undang ini dibentuk tanpa kepastian hukum. Padahal di dalam UUD Pasal 28D ayat 1 dinyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.
"Aspek kepastian hukum tidak terpenuhi. Mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Ini membuat Partai Buruh merasa kepastian hukum yang dijamin konstitusi dilanggar," ujarnya.
BACA JUGA:
Kedua, dalam pembentukan undang-undang, ada beberapa asas yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Namun, kata Said, revisi UU PPP menjadi penolakan kelompok pekerja.
"Saya ambil contoh UU PPP ini. Apakah Undang-Undang ini dibentuk karena benar-benar dibutuhkan? Mayoritas rakyat Indonesia buruh, petani, hingga nelayan; mereka tidak butuh revisi UU PPP yang dimaksudkan untuk memuluskan UU Cipta Kerja jilid dua."
Said melanjutkan, kerugian konstitusional lainnya adalah tidak adanya keterlibatan kaum buruh, petani, dan nelayan. Menurutnya, mereka seharusnya dilibatkan dalam revisi UU PPP karena revisi ini menyangkut UU Cipta Kerja.
"Jadi mengulangi UU Cipta Kerja, revisi UU PPP tidak ada ketelibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Padahal, ecara teoritis, ini satu hal yang mutlak," tegas Said Salahudin.
Sementara itu, dari aspek materiil, omnibus sebagai sebuah metode pembentukan Undang-Undang secara hukum memang diakui. Namun demikian, omnibus law harus dipandang dengan memperhatikan korelasi antar Undang-Undang. Tidak asal menggabungkan Undang-Undang. UU Cipta Kerja sebagai contoh, memasukkan lebih dari 80 Undang-Undang yang tidak terkait satu sama lain.
Hal lain yang disoroti Said Salahudin adalah adanya ketentuan yang mengatakan, sesuatu yang disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR bisa dilakukan perbaikan.
"Saya sangat yakin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan ini. Karena sebuah RUU yang ditetapkan dalam rapat DPR, RUU tersebut sudah berubah menjadi UU. Itu namanya pengesahan materiil," imbuh dia.