Bagikan:

JAKARTA - Kondisi Jakarta kembali menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada pagi ini. Merespons kondisi itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut program Jakarta Langit Biru tidak bisa terlaksana dengan waktu instan dan memerlukan waktu.

Program ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Sejumlah kebijakan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam program ini di antaranya perluasan ganjil-genap, pemberlakuan uji emisi, hingga peningkatan peralihan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi ke moda transportasi umum.

"Polusi udara masih menjadi salah satu PR kita di Jakarta. Program (Jakarta) Langit Biru itu memang tidak mudah. Perlu waktu," kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Senin, 20 Juni.

Riza mengungkapkan, pengendalian kualitas udara di Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh Pemprov DKI sendiri. Riza mengaku pihaknya memerlukan kerja sama dengan daerah penyangga maupun pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara ini.

"Pengurangan kendaraan, uji emisi, peningkatan ruang terbuka hijau, (pengendalian) cerobong asap pabrik-pabrik yang ada, semuanya saling melekat satu sama lain. Tidak bisa kita secara sepihak. Semua harus secara komprehensif, program itu disusun," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Jakarta kembali menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada pagi ini. Buruknya kualitas udara di Jakarta tercatat telah terjadi selama beberapa hari terakhir.

Pagi ini, lembaga data kualitas udara IQ Air menempatkan Jakarta sebagai kota paling berpolusi dengan indeks kualitas udara menduduki angka 173 pada Senin, 20 Juni per pukul 09.35 WIB.

Melansir dari laman resmi IQ Air di Jakarta, kualitas udara ibu kota masuk kategori tidak sehat karena konsentrasi PM2.5 saat ini 27,4 kali dari nilai pedoman kualitas udara tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Konsentrasi PM2.5 di Jakarta berada pada angka 136,9 gram per meter kubik.

PM2.5 mengacu pada materi mikroskopis tertentu dengan diameter 2,5 mikrometer atau kurang, dengan berbagai efek merugikan pada kesehatan manusia dan lingkungan, dan karena itu merupakan salah satu polutan utama yang digunakan dalam menghitung kualitas udara kota atau negara secara keseluruhan.

Berdasarkan analisa BMKG, konsentrasi PM2.5 yang tinggi di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.