Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menerima uang dari berbagai pihak yang mengajukan permohonan penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB).

Dugaan ini muncul setelah Haryadi ditetapkan sebagai tersangka usai dia terjerat operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 2 Juni kemarin. Dia diduga menerima suap terkait penerbitan IMB Apartemen Royal Kedathon di kawasan Malioboro, Yogyakarta.

"HS juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa penerbitan izin IMB lainnya," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Juni.

Meski begitu, Alexander belum memerinci dari proyek pembangunan mana saja yang izinnya diberikan setelah Haryadi mendapat pelicin. Penyidik masih mendalami lebih lanjut.

"Dilakukan pendalaman oleh tim penyidik," ujarnya.

Alexander menjelaskan penangkapan yang berawal operasi senyap ini memang baru dilaksanakan. Penyebabnya, mereka baru mendapat bukti meski laporan masyarakat tentang dugaan penyuapan sudah masuk sebelumnya.

"Ya, kan, buktinya baru kita dapatkan sekarang," tegasnya.

"Kalau laporan informasi dari masyarakat itu, saya kira sudah cukup lama kita mendengar adanya proses-proses perizinan yang bermasalah di Jogja," imbuh Alexander.

KPK, sambung dia, akan memelototi proses perizinan di KPK setelah kejadian ini. Apalagi, Yogyakarta adalah kota wisata yang marak pembangunan hotel maupun apartemen.

Tak sampai di sana, KPK akan mengecek perizinan sepanjang jalan Malioboro. Apalagi, Hariyadi jadi tersangka karena menerima pelicin perihal izin pembangunan di kawasan tersebut.

"Nanti kita cek, di sepanjang kawasan Malioboro itu, kan, masuk kawasan cagar budaya, di mana ada aturan-aturan pembatasan terkait dengan ketinggian, maupun sudut kemiringan dari ruas jalan," jelas Alexander.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Hariyadi bersama dua anak buahnya yaitu Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta Nurwidhihartana dan Sekretaris Pribadi merangkap ajudan Hariyadi, Triyanto Budi Yuwono.

Akibat perbuatannya, mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara selaku pemberi, Oon Nusihono disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.