Bagikan:

JAKARTA - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mewacanakan pembentukan koalisi baru menggandeng partai tengah seperti NasDem dan Demokrat. Namun, PKB ingin memimpin poros koalisi dengan mencalonkan Ketua Umum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai calon presiden. 

PKB juga bersedia bergabung dengan koalisi lain, seperti misalnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Asal, Cak Imin harus jadi calon presiden (capres). Syarat tersebut dikatakan langsung oleh Cak Imin sendiri. 

Menanggapi hal itu, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai Cak Imin tidak tahu diri. Sebab, elektabilitas Cak Imin sebagai capres dirasa masih kurang untuk melawan kandidat lain. 

Jamiluddin mengakui bahwa elektabilitas PKB pada April lalu sempat berada di posisi ketiga menyalip Golkar, namun persaingan itu sangat sengit. Sedangkan jika merujuk pada hasil Pileg 2019 lalu, Golkar dinilai lebih pantas mencalonkan capres ketimbang PKB. 

"Perolehan kursi PKB pada Pileg 2019 di bawah Golkar. Tentu logika politiknya Golkar yang lebih berhak mengusung capres dari PKB," ujar Jamiluddin kepada VOI, Jumat, 27 Mei. 

"Berbeda halnya bila koalisinya hanya PKB, PPP, dan PAN, maka PKB berhak mengajukan capres. Sebab, perolehan kursi DPR RI dari tiga partai itu PKB yang paling banyak," sambungnya.

Sementara jika dilihat dari elektabilitas Cak Imin yang sangat rendah, lanjut Jamiluddin, membuat peluangnya hampir tertutup untuk diusung menjadi capres. Bahkan kata dia, elektabilitas Cak Imin lebih rendah dari Airlangga Hartarto.

"Karena itu, dilihat dari perolehan kursi PKB dan rendahnya elektabilitas Cak Imin, maka syarat yang diajukannya untuk bergabung KIB dan menjadi capres sangat tidak realistis. Cak Imin terkesan sosok yang tak tahu diri dengan beraninya mengajukan persyaratan tersebut," kata Jamiluddin. 

Apabila Cak Imin tetap Menyaratkan hal itu dalam berkoalisi, menurut Jamiluddin, dipastikan tidak akan ada partai yang mau berkoalisi dengan PKB. 

"Cak Imin seharusnya menyadari hal itu, termasuk ketidaklayakannya menjadi capres," tegasnya. 

Sebelumnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mewacanakan pembentukan koalisi baru terkait Pilpres 2024 dengan menggandeng Partai Nasional Demokrat (NasDem).  

"Sangat mungkin (bentuk Koalisi baru, red) karena PKB partai tengah. Artinya masih ada partai tengah lain, misalkan NasDem, setuju jalan, jadi," ujar Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 25 Mei. 

Jazilul juga membuka kemungkinan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat. Asalkan, PKB yang memimpin poros koalisi dengan Ketua Umum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai calon presiden. 

"Atau juga katakanlah Demokrat, jadi PKB ingin memimpin poros itu," katanya. 

Menurut Jazilul, elektoral Cak Imin berada di papan teratas bursa capres level ketua umum partai. Sehingga PKB percaya diri untuk menjadi pemimpin poros koalisi di Pilpres 2024.

"Kalau PKB sudah jelas capresnya, sudah ada Pak Muhaimin, jadi enggak usah repot-repot diukur dari situ. Misalkan Demokrat, Mas AHY dengan Pak Muhaimin, atau sebaliknya," jelas Jazilul.

"Kalau kita ikuti naluri untuk membaca Pilpres 2024 secara baik, dalam konteks partai kan elektoral ketua umum yang paling tinggi kan cuma Pak Prabowo, baru setelah itu Pak AHY, baru itu Pak Muhaimin," lanjutnya. 

Meski demikian, Wakil Ketua MPR itu tidak menutup kemungkinan apabila PKB juga akan bergabung dengan koalisi lain. Misalnya, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar, PAN dan PPP. Asalkan, kata Jazilul, PKB yang memimpin poros. 

"Setiap partai atau PKB sebenarnya melihat momentum 2024 itu momentum baru. PKB ingin memimpin poros lah, jangan ikut terus. Tapi kita harus sadar diri, kecuali kita bergabung dengan PKS PAN, PPP nah itu kan hampir satu rumpun," tandasnya.