JAKARTA – Peristiwa Amaq Sinta (34) alias Murtade (34) yang dijadikan tersangka karena membunuh dua orang begal di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sorotan sejumlah pengamat hukum.
Ketua Konsorsium untuk Penegakan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudy Marjono mengatakan, upaya korban begal melakukan perlawanan hingga pelakunya terbunuh bukanlah hal yang baru dan beberapa kali sudah kasus ini terjadi dan terulang.
“Beberapa kali terjadi dan terulang. Dan bisa dibuktikan apakah si korban ini melakukan aksi perlawanan itu karena overmacht atau karena noodweer exces, artinya pembelaan yang membabi buta karena ketakutan yang amat sangat, atau kepanikan yang sulit dikontrol,” kata Rudy Marjono sebagai praktisi hukum, Minggu, 17 April.
Rudy menilai, saat korban ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan begal, bagi Rudy itu adalah hal normatif.
“Ditetapkannya korban sebagai tersangka (saat itu) hanya persoalan normatif saja, bahwa menghilangkan nyawa orang lain itu memang melanggar hukum. Tinggal nanti pengadilan apakah korban yang bersangkutan akan dibebaskan dari tuntutan hukum oleh karena adanya pembelaan terpaksa overmacht atau noodweer exces.” Jelas Rudy Marjono.
Rudy berpendapat, noodweer exces atau pembelaan diri yang melampaui batas juga merupakan alasan terhadap seorang tersangka atau terdakwa melakukan sesuatu tindak pidana. Hal itu, lanjut Rudy, tidak dapat dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.
BACA JUGA:
“Bilamana perbuatan seseorang yang memenuhi semua unsur tindak pidana tetapi ia tidak dapat di jatuhi pidana karena noodweer exces sebagaimana dirumuskan didalam pasal 49 ayat (2) KUHP harus memenuhi tiga syarat yaitu, (1) pembelaan terbatas yang melampaui batas; (2) pembelaan itu yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat; (3) pembelaan itu karena terdapat serangan atau ancaman serangan.” pungkas Rudy.
Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Murtede alias Amaq Sinta (34), korban begal yang ditetapkan jadi tersangka. Amaq Sinta kini bebas dari perkara tersebut.
Warga Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah itu mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang berpihak terhadap dirinya selaku korban pembegalan.
"Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah memberikan dukungan, sehingga saya bisa bebas hari ini sebelum persidangan," kata Amaq Sinta, Minggu 17 April.
Amaq Sinta mengaku dirinya dan keluarga bahagia atas dikeluarkan SP3 tersebut, sehingga ia bisa kembali bersama istri dan dua anaknya serta keluarga besarnya. Dan dia bisa beraktivitas kembali seperti biasanya yakni menjadi petani.