Bagikan:

JAKARTA - Hubungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Partai Keadilan Bangsa (PKB) disebut-sebut merenggang usai KH. Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya terpilih menjadi Ketua PBNU. 

Kini, PBNU justru terlihat semakin dekat dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kedekatan kembali terajut pasca Ketua dan Sekjen PBNU hadir dalam peringatan harlah ke-49 PPP yang digelar di Pesantren Al-Hikam, Malang, Minggu, 27 Maret, lalu.

Baru-baru ini, giliran Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa bersilaturahmi di kediaman Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar di Pesantren Miftachussunah, di Surabaya, Sabtu, 16 April, malam. Silaturahmi selama dua jam sejak pukul 20.30 WIB berlangsung hangat dan gayeng.

Dikabarkan, KH Miftachul Akhyar dalam pertemuan itu membicarakan soal NU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga sejarah pondok pesantren yang didirikannya yaitu Pesantren Miftachussunnah.

“Saya mendapat amanat menjadi Rais Aam PBNU, memegang prinsip sami’na wa atho’na,” ujar KH Miftachul dalam keterangan pers yang diterima wartawan di Jakarta pada Minggu, 17 April, kemarin. 

Pria yang akrab disapa Kiai Miftah itu mengatakan, PPP memiliki tugas untuk merawat umat Islam salah satunya NU. Namun, dia menepis jika pertemuan tersebut membahas persoalan politik praktis.

"Kan kita punya umat yang besar ini juga kewajiban PPP untuk merawat umat itu. Kalau merawat dengan baik kan otomatis gitu. Kita bicara soal kepemimpinan, keumatan, di mana kita bisa menaikkan kualitas. Tidak ada bicara politik, hanya bicara pemimpin, umat, bagaimana umat makin cerdas," ungkap Kiai Miftah yang juga menantu Syekh Masduqi dari Pesantren Al Islah Lasem Rembang ini.

Sementara itu, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa mengaku pertemuan tersebut dimaksudkan untuk meminta nasihat dan doa dari Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar terlebih di momen Ramadan. 

“Silaturahmi saja, untuk berbagi pandangan, pendapat dan saya kira berguru lah, ingin tahu pandangan beliau untuk menegakkan syariat kita ke depan," kata Suharso. 

Serta membahas mengenai Indonesia dan pemimpin Indonesia yang bagus untuk selanjutnya seperti apa.

"Kemudian soal Indonesia ke depan, pemimpin yang bagus ke depan (selanjutnya) itu seperti apa, jadi menyambung silaturahmi," ungkap Suharso.

Suharso juga mendapat hadiah buku karangan KH Miftachul Akhyar “Al-Inhadl”. Ketua Umum PPP bersama rombongan juga dijamu makan malam oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dengan menu makanan timur tengah.

Dalam lawatan itu, Suharso didampingi sejumlah fungsionaris partai seperti Sekjen PPP Arwani Thomafi, Sekretaris Majelis Syariah KH.Chaerul Soleh Rosyid, Ketua DPP PPP Gus Hakim Hasyim Muzadi, Sekretaris DPW PPP Jatim Habib Salim Qurays, Ketua DPC PPP Surabaya, Ketua DPC PPP Gresik Khoirul Huda, Ketua DPC PPP Pasuruan Gus Aziz Idris Hamid, KH Nasirul Mahasin (kakak kandung Gus Baha’) serta Ketua GMPI A.Fikri Hidayat.

Kunjungan Ketua Umum PPP ke tokoh NU ini melengkapi momentum sebelumnya dengan kehadiran Ketua Umum PBNU KH Yahya C. Staquf bersama Sekjen PBNU Gus Saifullah Yusuf beserta sejumlah pengurus PBNU yang hadir dalam harlah PPP di Malang. 

NU Punya Peran dalam Berdirinya PPP

Nahdlatul Ulama (NU), selain sebagai organisasi masyarakat juga pernah menjadi partai politik, pada era Orde Lama. Memasuki rezim Soeharto, tepatnya mulai 1973, NU dilebur ke dalam PPP sebagai fusi partai-partai Islam.

Unsur NU memiliki kedudukan yang cukup menentukan di awal-awal keberadaan PPP. Namun, sejak 1984, NU telah mendeklarasikan diri untuk “kembali ke khittah 1926” sehingga keluar dari arena politik praktis.

Hanya saja, saat Soeharto runtuh dan Era Reformasi dimulai, ada keinginan besar warga nahdliyyin untuk kembali memiliki wadah menyalurkan aspirasi politik. Tapi, PBNU harus berhati-hati karena NU tidak boleh lagi terkait langsung dengan politik praktis, termasuk partai politik, sesuai hasil Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 itu.

Hingga pada akhirnya, sejumlah tokoh NU di antaranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Mustofa Bisri, dll mendeklarasikan pendirian PKB untuk wadah aspirasi tersebut. Tetapi, PKB bukan sebagai partai politik resmi NU secara kelembagaan.

Dalam perkembangannya, terjadi dualisme dalam internal PKB yang berujung didepaknya Gus Dur oleh Muhaimin yang notabene keponakannya. Kemudian, PKB versi Muhaimin lah kemudian diakui negara sebagai PKB yang “sah”. 

Setelah terpilihnya KH Yahya Cholil Tsaquf, Muhaimin alias Cak Imin mulai resah. Bahkan dinilai PBNU ingin melepaskan diri dari bayang-bayang PKB.

Lantas apakah pertemuan demi pertemuan adalah sinyal PBNU kembali ke PPP?