Bagikan:

JAKARTA - Koalisi yang dibentuk Gerindra dan PKB menjadi salah satu koalisi yang sudah bisa mendeklarasikan pasangan capres-cawapres 2024. Berkoalisi dengan PKB, juga menjadi salah satu upaya Gerindra memenangkan Prabowo Subianto di 2024 mendatang karena basis pemilih yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Namun, apakah mayoritas suara NU bakal benar-benar mengarah ke Koalisi Gerindra dan PKB?

Analis dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago, menilai ada beberapa kemungkinan yang diperoleh Prabowo jika berkoalisi dengan PKB.

Pertama, basis pemilih Prabowo bisa diperlebar kepada pemilih-pemilih tengah atau moderat. Karena di dua Pilpres 2014 dan 2019 kategori pendukung ketua umum Gerindra itu berada di barisan kanan.

"Tapi di Pilpres 2024, pemilih yang mendukung Prabowo di 2014 dan 2019 berkemungkinan akan terbagi dengan Anies Baswedan," ujar Arifki di Jakarta, Senin, 14 November.

Kedua, upaya Prabowo untuk menarik suara NU dengan berkoalisi bersama PKB tidak secara langsung menjadi 'ceruk suara'. Pasalnya, PBNU beberapa kali telah menyatakan sikap tidak menjadi bagian dari partai manapun.

"Ini artinya NU belum tentu memiliki sikap yang sama dengan PKB terhadap capres di tahun 2024," kata Arifki.

Ketiga, kedekatan warga NU dengan Gerindra juga perlu diuji. Sehingga kekhawatiran PKB tidak akan banyak menarik suara NU, bisa dijawab oleh Gerindra. Apabila secara organisasi membangun jejaring dengan kelompok-kelompok NU.

“PKB ini tentu menarik bagi Gerindra, terutama untuk menarik pemilih moderat yang banyak berlatarbelakang NU. Tantangannya seberapa besar suara NU yang bisa ditarik oleh Prabowo untuk memilihnya di tahun 2024? Kebijakan elite PBNU yang menyatakan bahwa NU tidak identik dengan partai manapun tentu melemahkan daya tawar PKB secara politik atau pun pemilih," jelas Arifki.

Dari berbagai kekhawatiran tersebut, menurut Arifki, Gerindra seharusnya mengambil daya tawar dengan NU untuk menjaga ketidakmungkinan dukungan politik yang lemah ke PKB. Sehingga koalisi Gerindra-PKB tidak sia-sia untuk merebut pemilih NU sebesar-besarnya.

"Dengan netralnya PBNU terhadap semua partai politik, maka partai lain memiliki kemungkinan untuk menarik pemilih NU, seperti PPP, PDIP, dan Golkar yang selama ini memang sudah tempat bagi kader-kader NU yang tidak bergabung dengan PKB," terangnya.

Arifki menegaskan, politik adalah mencari kemungkinan di atas ketidakmungkinan. Dari berbagai kepentingan yang memberikan keuntungan untuk Gerindra berkoalisi dengan PKB, menurutnya, secara pribadi Cak Imin juga ingin menarik efek Prabowo untuk partainya.

Namun kata dia, pertarungannya adalah seberapa menarik citra Prabowo bagi pemilih NU, jika misalnya ada figur lain seperti Khofifah Indar Parawansa yang berkemungkinan maju sebagai cawapres di 2024.

“PKB mungkin saja diuntungkan jika berkoalisi dengan Gerindra, apalagi Cak Imin mendapatkan posisi sebagai cawapres. Tetapi, munculnya nama Khofifah nanti tentu merugikan bagi Prabowo atau Gerindra karena basis NU juga terbelah dalam menentukan capres dan cawapres," katanya.

"Apalagi sikap PBNU yang tidak menyatakan keberpihakan kepada salah satu partai capres semakin menyulitkan daya tawar Cak Imin mengklaim pemilih NU sebagai basisnya untuk maju sebagai cawapres," pungkas Arifki.