Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan alasan pihaknya membebankan tarif Rp1.000 untuk pengaksesan Nomor Induk Kependudukan (NIK) terhadap lembaga keuangan seperti bank, asuransi, hingga pasar modal.

Kata Zudan, keputusan pemerintah membuat tarif akses NIK adalah untuk mendapat anggaran peremajaan sistem dukcapil lewat pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tersebut.

"Pertimbangan dasar penerapan tarif NIK atau jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan adalah, untuk menjaga sistem Dukcapil tetap hidup. PNBP akan dimanfaatkan untuk perawatan dan peremajaan infrastruktur server dan storage Ditjen Dukcapil dalam melayani masyarakat dan lembaga pengguna," kata Zudan dalam keterangannya, Minggu, 17 April.

Selain itu, lanjut Zudan, pembiayaan akses NIK untuk lembagai juga digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akurasi data. Sebab, beban pelayanan makin bertambah.

"Jumlah penduduk dan jumlah lembaga pengguna yang dulu hanya 30 sekarang 5.010 lembaga yang sudah kerja sama, namun anggaran APBN terus turun," ujar Zudan.

Terkait perkiraan PNBP yang bakal diterima dari kebijakan itu, Zudan mengaku Dukcapil tidak memasang target nominal. Sebab, pembebanan tarif cek NIK ini tak menjadi sumber pendapatan utama, tetapi hanya tambahan bagi APBN agar sistem Dukcapil tetap terjaga untuk memberi pelayanan.

Lebih lanjut, Zudan menegaskan bahwa dalam hal PNBP, jasa pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan itu sendiri tidak menjual data penduduk dan tidak memberikan data.

Lembaga pengguna sudah punya data dan diverifikasi oleh Dukcapil. Dukcapil hanya memberikan verifikasi data seseorang dengan notifikasi true or false (sesuai/tidak sesuai).

"Sektor swasta yang memanfaatkan akses data kependudukan harus melalui berbagai tahapan/persyaratan.Di antaranya telah bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil (MoU dan PKS), PoC sistem (Proof of Concept), menandatangani NDA (Non Disclosure Agreement), dan SPTJM (Surat Pertanggungjawaban Mutlak) untuk mematuhi kewajiban menjaga dan melindungi data," urai Zudan.

"Serta tidak boleh memindahtangankan data walaupun sudah tidak bekerja sama atau dikenal dengan istilah zero data sharing policy. Para lembaga pengguna juga harus siap mengikuti ketentuan regulasi yang berlaku," pungkasnya.